A.
Pendahuluan
Melalui kontak yang terjadi di pusat-pusat peradaban Yunani yang
terdapat di Aleksanderia (Mesir), Antokia ( Suriah), Jusdisyapur (Irak) dan
Baktra (Persia), yang jatuh kedalam kekuasaan Islam pada permulaan abad ketujuh
Masehi, filsafat masuk ke dalam pemikiran Islam. Timbullah filosof-filosof
Islam seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Maskawaih dan filosof lainnya.[1]
Berlainan dengan di Yunani, pemikiran filsafat dalam Islam, telah
terkait pada ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dan hadits. Disini pemikiran
filsafat tidak lagi bebas-sebebasnya, tetapi telah dibatasi oleh wahyu yang
telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. maka filosof-filosof Islam tidak
lagi menjadi dasar dari segala dasar, karena wahyu telah menentukan bahwa dasar
dari segala dasar itu adalah Allah SWT.
Dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana pemikiran
filsafat Al-Kindi yang dikenal sebgai pencetus pertama pemikiran filsafat dalam
Islam dan juga membahas bagaimana pemikiran filsafat Al-Razi yang merupakat
filosuf Islam kedua setelah Al-Kindi.
B.
Al-Kindi
1.
Sejarah hidup dan karyanya
Al-Kindi adalah seorang filsuf besar pertama Arab dan Islam[2].Nama
lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn
Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Nama al-Kindi berasal
dari nama salah satu suku Arab yang besar sebelum Islam, yaitu suku kindah[3].
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H/801 M. Ia berasal
dari sebuah keluarga pejabat, kaya dan terhormat. Ayahnya bernama Ibnu Al-Sabah.
Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan
Al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid (786-809). Ayahnya meninggal ketika ia
masih kanak-kanak namun ia masih tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut
ilmu dengan baik.[4] Kakeknya
Asy’ats bin Qais dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila
ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan yang
berasal dari daerah Arab bagian selatan dan dikenal sebagai raja di wilayah Kindah.[5]
Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Tak kurang dari lima
periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833),
Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861).
Pendidikan al-Kindi pada waktu kecil tidak banyak diketahui. Ada
rieayat yang menerangkan bahwa al-Kindi pernah belajar di Basrah sebuah pusat
studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan
Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu.[6]
Dia dikenal berotak encer, tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani,
Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu. Ia
sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, ia dapat
menguasai ilmu filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri,
medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorology.[7]
Penguasaanya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi
orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof
terkemuka. Karena itu pulala ia dinilai pantas menyandang gelar Failsuf
al-‘Arab (Filosof berkebangsaan Arab).[8]
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, menyebabkan
dirinya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.[9]
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitul Hikmah (House of Wisdom)
yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai
bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan
puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan
peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi
pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi
kerajaan.[10] Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan
bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260
karya. Di antara sederet buah pikirannya dituangkan dalam risalah-risalah
pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa
Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat,
logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika,
psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri
sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul.
Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap
perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap
digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang
Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat
masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan
karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat
Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat
dan agama.[11]
Pada masa pemerintahan Al-Muatawakkil, khalifah yang
mengakhiri masa kejayaan aliran Muktazilah, al-Kindi mengalami nasib yang tidak
menguntungkan, ia dipecat dari berbagai jabatan yang dipercayakan
kepadanya. Jabatannya sebagai guru besar
di istana diambil alih oleh putra-putra Musa yang juga tergolong ilmuwan,
walaupun tidak sepopuler al-Kindi. Suatu ketika putra-putra Musa merampas
perpustakaan al-Kindiyah, milik pribadi al-Kindi, tetapi pada akhirnya pustaka
tersebut dikembalikan kepada al-Kindi.[12]
Tentang kapan al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang
pasti. Dalam buku Min Al-Kindi ila Ibn Rusyd karangan Musa Al-Musawi
seperti yang dikutip oleh Sirajudin Zar mengatakan bahwa Musthafa Abd Al-Raziq
cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk
tahun 260 H, suatu pendapat yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino.
Sementara itu, Yaqub Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah berusia
80 tahun atau lebih.[13]
2.
Karya
Tulisnya
Al-Kindi selain seorang yang aktif terlibat dalam kegiatan
penterjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melakukan koraksi serta perbaikan
atas terjemahan orang lain, juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif
dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin
ilmu. Akan tetapi, kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga sulit
menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya. Namun sebagian dari risalah Al-Kindi
yang hilang tersebut ditemukan kembali. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan
bahwa karya-karya al-Kindi berjumlah 270
buah, kebanyakan di antaranya risalah-risalah pendek dan banyak di antaranya yang sudah tidak
ditemukan lagi[14].
Risalah-risalah itu, baik oleh ibnu Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan kedalam
17 kelompok, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5.
Music, 6. Astronomi, 7. Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11.
Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorology, 15. Dimensi, 16.
Benda-benda pertama, 17. Spesies tertentu logam dan kimia.[15]
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis al-Kindi.
1.
Fi
al-falsafat al-‘Ula
2.
Kitab
al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
3.
Risalat
ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
4.
Risalah
fi Ta’lil al-A’dad
5.
Kitab
al-falsafat al-Dakhilat wa al-Masail al-Manthiqiyyah wa al-Mu’tashash wa ma fauqa
al-Thabi’iyyat.
6.
Kammiyat
Kutub Aristoteles
7.
Fi
al-Nafs
Melalui karya-karyanya, al-Kindi dapat diketahui sebagai seorang
yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Bahkan, beberapa karya tulisnya
telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat
mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan.[16]
3.
Perpaduan
Filsafat dan Agama
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam.
Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu
pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab
dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan
dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan
merupakan bagian dari kebudayaan Islam.[17]
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan
bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa
ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada
mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu-kafir
dan menyiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi
rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibn Rusyd.[18]
Kemudian menurut al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan kepada yang
benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang
lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan filsafat. Agama di samping menerangkan wahyu juga mempergunakan
akal, dan filsafat mempergunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan
filsafat, hanya argumentasi yang dikemukakan wahyu lebih meyakinkan daripada
argumen filsafat. Keduanya bertujuan untuk menerangkan apa yang benar dan yang
baik.[19]
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus
menjadi tujuan dari keduanya. Dengan demikian, menurut al-Kindi, orang yang
menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan orang yang
mengingkari kebenaran tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya tidak lagi beragama karena
ia telah menjual agamanya.[20]
Menurut al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran
dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu
yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah
meremahkan dan merendahkan orang yang menerima-nya.[21]
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang
mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermamfaat dan menjauhkan
dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga
mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.[22]
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa tujuan filsafat sejalan
dengan ajaran yang dibawa oleh rasul. Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari
Yunani, maka kita menurut al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh
dari itu, kita wajib mencarinya.[23]
Dalam usaha memadukan antara filsafat dan agama ini, al-Kindi juga
membawakan ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat
sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti
dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya adalah
sebagai berikut:
1.
Surat
Al-Nasyr [59]: 2
(#rçÉ9tFôã$$sù.... Í<'ré'¯»t
Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
“.......Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.”
2.
Surat
Al-A’raf [7]: 185
óOs9urr& (#rãÝàZt Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
$tBur t,n=y{
ª!$#
`ÏB &äóÓx«
... ÇÊÑÎÈ
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi
dan segala sesuatu yang diciptakan Allah...”
3.
Surat Al-Ghasyiyah [88]: 17-20
xsùr& tbrãÝàYt n<Î) È@Î/M}$#
y#ø2
ôMs)Î=äz
ÇÊÐÈ n<Î)ur
Ïä!$uK¡¡9$# y#ø2
ôMyèÏùâ
ÇÊÑÈ n<Î)ur
ÉA$t6Ågø:$# y#øx.
ôMt6ÅÁçR
ÇÊÒÈ n<Î)ur
ÇÚöF{$#
y#øx.
ôMysÏÜß
ÇËÉÈ
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia
diciptakan dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
4.
Surat
Al-Baqarah [2]: 164
¨bÎ)
Îû È,ù=yz
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
É#»n=ÏG÷z$#ur È@ø©9$#
Í$yg¨Y9$#ur
Å7ù=àÿø9$#ur
ÓÉL©9$# ÌøgrB Îû Ìóst7ø9$#
$yJÎ/ ßìxÿZt }¨$¨Z9$#
!$tBur
tAtRr& ª!$#
z`ÏB
Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B
$uômr'sù ÏmÎ/
uÚöF{$#
y֏t/
$pkÌEöqtB £]t/ur
$pkÏù
`ÏB Èe@à2 7p/!#y
É#ÎóÇs?ur Ëx»tÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur
̤|¡ßJø9$#
tû÷üt/
Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷èt ÇÊÏÍÈ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.”
Dengan demikian al-Kindi telah membuka pintu
bagi penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an, sehingga menghasilkan antara
wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia mengemukakan
bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut:
1.
Ilmu
agama bagian dari filsafat
2.
Wahyu
yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian
Al-Kindi juga
menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang dengan
filsafar dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak
perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha pemberian
argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat,
untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus memiliki
pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan
dipelajari.[25]
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan hahwa al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha
pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu. Dalam hal ini
dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di
pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam
yang datang kemudian.
4.
Filsafat
Ketuhanan al-Kindi
Menurut al-Kindi Allah
adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia
mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan
tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang lain
disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak
ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan
tidak dilahirkan.[26]
Filsafatnya tentang
keesaan Tuhan selain didasarkan pada
wahyu juga pada proposisi filosofis. Menurut al-Kindi, Tuhan itu tidak
mempunyai hakikat, baik hakikat secara juziyyah atau aniyah (sebagian)
maupun hakikat secara kulliyah atau mahiyah (keseluruhan). Tuhan
bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam
benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari materi (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat) tidak merupakan genus
atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-Haqq
al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid).[27]
AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu
berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan
metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain
yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut
haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.[28]
Al-Kindi juga menyatakan bahwa Allah itu hanya bisa dilukiskan
dengan kata-kata negative; Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak
berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak berbagi. Ia adalah Maha Esa (wahdat)
dan yang selainnya berbilang.[29]
Jadi Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya dengan
ciptaan-Nya.
Al-Kindi dalam
membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
1. Baharunya
alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah
mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi
menjawab; tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap yang
mempunyai permulaan akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam
pasti ada yang mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi
penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
2. Keaneka
ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada
keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman
dan keragaman ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan yang
merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau penyebabnya
alam itu sendiri, maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya.
Sementara sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat
atau syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
3. Kerapian
alam. menurut al-Kindi bahwa alam empiris ini tidak mungkin terkendali dan
teratur tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan pengatur tentu berada di luar
alam. Zat itu tidak terlihat pada ala mini. Itulah adanya Tuhan.[30]
5.
Filsafat
Jiwa (Al-Nafs) al-Kindi
Didalam al-Qur’an dan
hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan
Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia
tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan
manusia.[31]
Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat
jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan
ajaran Islam.[32]
Jiwa atau roh adalah
salah satu pokok pembahasan al-Kindi, bahkan al-Kindi adalah filsuf Muslim
pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai
esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama
lainnya.[33]
Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan
marah. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (
tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti
penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari
sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari.[34]
Argument tentang beda
jiwa dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang
tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.[35]
Dalam hal ini pendapat
al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan
antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak
membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang
mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.[36]
Al-Kindi membagi jiwa
atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah)
yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang
terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat
di kepala.[37]
Daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat
eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.[38]
Al-Kindi membandingkan
daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir
dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya
seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia
bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan
mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai
sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan
keindahan.[39]
Selanjutnya Al-Kindi
membagi akal pada empat macam; satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga
lagi berada di dalamnya.[40]
1. Akal
yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan).
Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya
dalam aktualitas.
2. Akal
bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada
dalam dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima
bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal
yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah akal yang telah
keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan
pemikiran abstraksinya.
4. Akal
yang berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia nyata, maka ia disebut akal
“yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat
kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau
seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan.[41]
Menurut al-Kindi, tidak
semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja
yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan
hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh
yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu
senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang
bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus
dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga
sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan [42].
C.
Al-Razi
1.
Biografi
Nama Lengkap
Al- Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. di barat
dikenal dengan sebutan Rhazes. Dia lahir
di Rayy, sebuah kota yang dekat Teheran, Iran pada tanggal 1 sya’ban 251 M/865
M.[43]
Pada masa
mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi.
Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya
setelah matanya diserang penyakit akibat eskperimen-eksperimen yang
dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan
filsafat.[44]
Perlu pula
diingatkan bahwa lingkungan Al-Razi tempat ia berdomisili, telah dimaklumi
bahwa Iran, yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, sejak lama sudah
dikenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini merupakan tempat pertemuan
berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Dalam bidang
penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletakknya salah satu jasa dari
Alexander Yang Agung pada tahun 331 SM[45]. Suasana lingkungan ini termasuk yang mendorong bakat Al-Razi
tampil sebagai seorang intelektual.
Al-Razi dikenal
sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya,
kearena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang
miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat
menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al Mansur ibnu
Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Setelah Al-Mukhtafi meninggal,ia kembali ke
kota lairnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M
dalam usia 60 tahun.[46]
Disiplin ilmu
Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Ia
lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibandingkan sebagai
seorang filosof. Ia sangat rajin menulis
dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur
melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan
mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan
meninggal.[47]
2.
Karya Tulisnya
Al-Razi, dalam
autobigrafinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200
buah karya tulis dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya tulisnya dalam
bidang kimia yang terkenal ialah kitab al-Asrār yang diterjemahkan
kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang
terbesar ialah al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran,
diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar
luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad
ke-17 M. [48]
Bukunya di
bidang kedokteran juga ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid
disalin ke dalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al
Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit
cacar dan campak beserta pencegahannya, diterjemahkan orang ke dalam berbagai
bahasa barat dan terakhir kedalam bahasa Inggris tahun 1847 M, dan dianggap
buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah
al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah, dan lainnya. Sebagian
karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al- Rasā’il
Falsafiyyat.[49]
3. Filsafatnya
a. Lima Kekal (Kadim)
Filsafat
Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima Kekal, yakni al-Bāry Ta’āla (Allah Ta’āla),al-Nafs
al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama), al-Makān
al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zamān al-Muthlaq (masa absolut). Menurut
Al-Razi dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif yaitu Allah dan roh. Satu
di antaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Satu di antaranya tidak hidup
dan pasif, yakni materi. Dua lainya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula
pasif, yakni ruang dan masa.[50]
1.
Al-Bāry Ta’āla
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam
diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari bahan
yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu,
meskipun ,materi asalnya kadim, sebab penciptaannya di sini dalam arti disusun
dari bahan yang telah ada[51].
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis.
Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api,
dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali.
Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada
penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan
yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataanya, penciptaan seperti itu
suatu hal yang tidak mungkin.[52]
Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat
Al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber
Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan
kekalnya Allah.[53]
2.
Al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal)
Jiwa universal merupakan al-mabda al-qadīm al- Sāny (sumber
kekal yang kedua). Pada benda-benda alam tersebut terdapat daya hidup dan
gerak, sulit diketahui karena ia tanpa bentuk, yang berasal dari juwa universal
yang juga bersifat kekal. Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit
diketahui karena ia tanpa rupa-tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu
dengan al-hayūla al-Ūla (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang
dapat diterima fisik. Sementara itu,
materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam
semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh,[54]
agar jiwa itu dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian-bagian
kesenagan-kesenangan materi untuk sementara waktu.[55]
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan
penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa
tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat
abadi. Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari
materi dengan jalan filsafat. Jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan
filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi,
apabila ia sudah bersih ia dapat kembali kealam asalnya, saat itu alam hancur
dan jiwa serta materi kembali kepada keadaannya semula.[56]
3.
Al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama)
Materi adalah kekal (jauhar qadīm). Ia disebut juga hayula muthlaq
(materi mutlak), yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi.
Menurut Al-Razi, Atom-atom yang tidak berbagi itu mempunyai volume (a’zham).
Oleh karena itu, ia dapat dibentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut
terbentuklah alam dunia. Partikel-partikel materi adalah alam menentukan
kualitas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang lebih padat
menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang daripada unsur tanah menjadi
unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsure udara, dan yang
jauh lebih renggang menjadi unsur api.[57]
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama,
Al-Razi memajukan dua argument. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan
adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu kekal
pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creatio ex nihilo. Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah
ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali.[58]
4.
al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang
berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan “tempat” (Totos) tidak bisa
dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempati.[59]
Oleh sebab itu, ruang, menurut Al-Razi, dapat dibedakan menjadi dua macam:ruang
particular (al-Makan al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat
dengan sesuatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak akan ada tanpa
adanya maujud sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud.
Ruang partikular ini akan terbatas dengan
terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada
didalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang, bagi Al-Razi, bisa
saja berisi wujud atau yang bukan wujud karena adanya kehampaan bisa saja
terjadi. Sebagai bukti ketidakterbatasan ruang, Al-Razi mengatakan bahwa
wujud(tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang,
tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Ruang universal ini sering
juga disebut al-khala (kosong) dan ruang inilah yang dikatakan Al-Razi ruang
yang kekal.[60]
5.
al-Zamān al-Muthlaq (masa absolut)
Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan Al-Razi antara
waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mahshūr (terbatas). Untuk yang
pertama ia sebut dengan al- dhar, bersifat kadim dan substansi yang bergerak
atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, waktu mahshur adalah
waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan
bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas itu tidak kekal, yang ia ebut
dengan al-Waqiy. Dengan demikian, waktu mutlak atau apsolut, menurut
Al-Razi, sudah ada sebelum adanya waktu yang terbatas ini yang terikat dengan gerakan bola bumi.[61]
b. Akal,
Kenabian, dan Wahyu
Bagi al-Razi,
akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh
Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena
pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu
pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya,
untuk dapat kembali kepada Tuhannya.[62]
Al-Razi dikenal
sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah yang
terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat
sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh
sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus
memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.
Banyak kalangan
yang mengatakan bahwa Al-Razi terlalu berani dalam mengembangkan
pendapat-pendapatnya, bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah
filosof muslim yang berani mengeluarkan
pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan faham yang dianut umat
Islam. Selanjutnya, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi
tersebut, yakni a. tidak percaya pada wahyu, b. Alqur’an bukan mukjizat, c.
tidak percaya pada nabi-nabi, d. adanya hal-hal yang kekal selain dari Allah.[63]
Badawi sebagaimana
yang dikutib oleh Sirajuddin Zar, menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam
menolak kenabian sebagai berikut.
a.
Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang
jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal saja manusia mampu
mengetahui Allah dan mengatur kehidupannya dengan sebaik-baiknya.\
b.
Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk
membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama.
Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan
dan pendidikan.
c.
Para nabi saling
bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara
atas nama satu Allah.[64]
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia
juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majusi secara rinci.
Bahkan lebih lanjut ia katakana tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi
sebab mereka menimbulkan kemudharatan. Ia juga mengkritik secara sistematik
kitab-kitab wahyu Alquran dan Injil. Ia menolak kemukjizatan Alquran, baik
gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang
lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah
daripada Alqur’an. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat
berani, tidak ada seorang pemikir Islam pun seberani dia.[65]
Sirajudin Zar
menyatakan, Perlu ditegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawan
debatnya Abu Hatim Al-Razi, tokoh Syi’ah Ismailyah. Oleh karena itu, beralasan
dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa
tuduhan-tuduhan tersebut ganjil, bahkan ia nilai mengandung sentiment. Hal ini
lumrah terjadi bahkan orang yang kalah berusaha untuk memojokkan lawannya agar
benci pula pada orang lain.[66]
Dalam buku al-Thibb
al-Rūhani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian
atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan
berpegang teguh kepadanya agar mendapatkan kenikmatan di akhirat
berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Lebih jelasnya
ia katakan sebagai berikut: Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah
secara sempurna tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syariah telah menjanjikan
kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.[67]
Berdasarkan
uraian di atas sulit diterima bahwa orang yang menghargai agama di cap mulhid.
Bahkan ia dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan
para nabi sebab mereka adalah manusia
pilihan yang memiliki pribadi mulia.[68]
D.
Penutup
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama. Dialah
yang menjelaskan kedudukan antara agama dan filsafat, sehingga terjadi
rekonsiliasi agama dan filsafat. Di antara filsafatnya adalah masalah ketuhanan
dan jiwa, dan masih ada lagi filsafatnya yang lainnya.
Disatu sisi harus kita mengakui,
bahwa filsafat yang dikemukakan al-Kindi sebagai sesuatu disiplin ilmu yang
baru dimasanya, masih dianggap belum lengkap dalam artian yang luas, sehingga
mendapat kritikan dari para ahli pikir sesudahnya. Namun yang jelas al-Kindi
telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu, serta
lebih jauh lagi telah berupaya untuk mengislamkan ide-ide yang terdapat dapat
dalam filsafat Yunani. Ia telah merintis dan melapangkan jalan para filosof
sesudahnya.
Sedangkan al-Razi adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam
bagian Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua Al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Maskawaih, Ibnu Sina, dan al-Ghazali. Dia termasuk filosof yang sangat
berani mengemukakan gagasan-gagasannya dalam bidang filsafat baik mengenai lima
yang kekal maupun tentang kenabian dan peranan akal dalam mencari kebenaran.
[1] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta: Penerbit Mizan,
1989), h. 356
[3]Ibid
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya,
(Jakarta: Rajawali press, 2009), h. 38
[5]Ensiklopedi Islam, Op. cit
[6]Sirajudin Zar, Op. cit.
[7] Ensiklopedi Islam, Op. cit, h.69-70
[8] Sirajudin Zar, Op. cit.
[9] Ensiklopedi Islam, Op. cit
[10]Ibid
[11] Ibid, h. 70
[12] Ibid
[13] Sirajudin Zar, Loc. Cit, h. 41
[14] Ensiklopedi Islam, Op. cit. h. 69
[15]Sirajudin Zar, Loc. Cit, h.42
[16] Ibid, h. 43
[17] Ensiklopedi Islam, Op.cit. h. 70
[18]Ahmad Hanfi, Pengantar Ilmu Filsafat , (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h. 74
[21]Abdus Salam, Sains dan dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni (Bandung,
Salman ITP, 1983) h. 11.
[22] Sirajudin Zar, Op.cit, h.44
[24] M.M. Syarif, (Ed) History of Muslim Philosophy, vol. I,
(Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), h. 425
[25] Sirajudin Zar, Op.cit, h.48
[26] Ibid
[27] Ensiklopedi Islam, Op.cit. h. 70
[28] Ibid
[29] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 52
[31]Lihat : AS. Al-Isra’ [17] : 85
[32] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 59
[33] Ensiklopedi Islam, Loc.cit
[34] Sirajudin Zar, Loc.cit
[36] Ibid, h. 60
[37] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1985), h. 9
[38] Ensiklopedi Islam, Loc.cit.
[39] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 61,
[40] Ibid
[42] Ensiklopedi Islam, Op.cit, h. 71
[43] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1998), h. 24
[44] Sirajuddin Zar, Op.cit, h.113
[45] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1993), h. 8
[46] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 115
[47] Ibid, h. 116
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Harun Nasution, Op.cit. h. 8
[51] Sirajuddin Zar, Op.cit, h.117
[52] Ibid, h.118
[53] Ibid
[54] Ibid
[55]Hasyimsyah Nasution, Op.cit, h. 27
[56] Sirajuddin Zar, Loc.cit
[58] Ibid
[59] Ibid, h. 120, lihat juga Majid Fakhry, Op.cit, h. 157
[60] Ibid
[61]Ibid
[62] http://kanzulfikri.wordpress.com/2008/09/25/buah-filsafat-al-razi
[63] Harun Nasution, Op.cit, h. 20-21
[64] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 122
[65] Ibid
[66] Ibid, h. 123
[67] Ibid
[68] Ibid, h. 124
mkasih informasinya
BalasHapus