A. Pendahuluan
Perbedaan pendapat, pandangan dan
pemikiran adalah suatu yang fitrah dan lumrah. Tentunya perbedaan tersebut harus
dilandasi oleh azas kebenaran. Al-Qur’an sebagai kalam Allah diyakini oleh umat
Islam sebagai sumber kebenaran yang absolut. Ternyata Al-Qur’an tidak datang
dalam bentuk yang rinci seperti layaknya peraturan lalu lintas. Hal ini membuka
peluang ijtihad yang seluas-luasnya untuk merinci penjelasan tersebut. Bahkan
dalam suatu kasus tidak ditemukan nashnya baik didalam Al-Qur’an maupun di dalam
Hadits, tentu manusia berupaya untuk mencari solusi yang terbaik melalui
ijtihad. Berangkat dari pandangan di atas lumrah kiranya jika di dalam sejarah
umat Islam terjadi perdebatan dalam memandang suatu persoalan. Keberagaman
pendapat tersebut memupuk subur pertumbuhan dinamika peradaban umat Islam
sehingga menuai berbagai mazhab dan aliran, termasuk syi’ah.
Syi’ah
pada dasarnya
lahir sebagai mazhab politik yang menyuarakan Ali Ibn Abi Thalib sebagai
Khalifah. Perkembangan dinamika keberagaman pemikiran syi’ah melahirkan berbagai
sekte yang inti ajarannya berkisar pada persoalan imamah. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dari ajaran imamah inilah mereka berangkat menuju
teologi. Walaupun dalam realitasnya ada sekte yang masih berpegang pada
prinsip-prinsip Islam dan ada pula sekte yang telah keluar dari prinsip-prinsip
Islam, ada yang masih tetap bertahan sampai sekarang, dan ada pula yang
telah hilang ditelan sejarah.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa
masalah tentang syi’ah yaitu:
Pengertian syi’ah, asal usul, ajaran
pokok, sekte Zaidiyyah, Imamiyyah, dan
Ghulat dan ajarannya, serta
menyajikan analisa perbandingan ketiga ajaran sekte tersebut. Meskipun amat
disadari bahwa topik-topik ini hayalah segelintir pembahasan tentang syi’ah, namun penulis berharap
pembahasan ini representatif untuk dijadikan bahan diskusi.
B. Pengertian
Secara bahasa syi’ah berarti pengikut dan penolong.[1]
Ada juga yang mengartikan dengan kelompok, jama’ah, dan golongan.[2]
Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap golongan atau kelompok yang mempunyai
pengikut dan memberikan bantuan kepada imamnya disebut dengan syi’ah. Lebih lanjut, sebagaimana yang
dikutip oleh al-Qifariy, Al-Azhariy mengartikan syi’ah dengan kelompok yang mengikuti sebagian yang lain dan tidak
semua mereka sepakat dengan apa yang diikutinya.[3]
Artinya dalam hal tertentu mereka sependapat, namun dalam hal lain mereka berbeda
pendapat, sehingga terdapat sekte-sekte dalam satu golongan. Di dalam Al-Qur’an
juga terdapat kata syi’ah yang pada
intinya bermakna kelompok atau golongan, contohnya firman Allah dalam surat
al-‘An’am ayat 159:
ان الذين
فرقوا دينهم وكانوا شيعا......
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah agamanya mereka terpecah menjadi
beberapa golongan.”
Ketika
terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah telah dikenal kata syi’ah. Akan tetapi penyebutan syi’ah tidak saja ditujukan pada
kelompok Ali namun kelompok mu’awiyyah juga disebut dengan syi’ah,[4]
namun dalam agama Islam kata syi’ah identik
dengan pengikut Ali. Nama syi’ah digunakan untuk golongan yang
mengagungkan Ali ibn Abiy Thalib dan ahli
al-bait.[5]
Penggunaan
makna syi’ah secara bahasa sebenarnya
tidak tepat, walaupun al-Zabidiy telah menjelaskan bahwa syi’ah identik dengan golongan yang mengagungkan Ali ibn Abiy
Thalib dan ahli al-bait, karena apabila ada orang yang mengatakan bahwa
Abu Bakar lebih utama dari pada Ali, maka ia disebut dengan syi’ah (dalam pengertian pengikut Abu
Bakar). Akan tetapi realitas sejarah telah merubah makna kamus, sehigga apabila
disebut syi’ah, maka pengertiannnya
mengacu pada pengikut Ali dan ahli
al-bait. Sehingga Al-Syarastaniy juga mendefenisikan syi’ah dengan pengikut Ali saja.[6]
C. Asal Usul Syi’ah
Muhammad
Abu Zahrah mengatakan bahwa syi’ah adalah
mazhab politik tertua di dalam Islam yang lahir pada akhir pemerintahan Utsman
ibn Affan dan berkembang pesat pada masa pemerintahan Ali Ibn Abi Thalib[7].
Harun Nasution menyebutkan bahwa syi’ah lahir
dari peristiwa arbitrase, dimana peristiwa ini memunculkan dua pandangan yang
berbeda dari pihak Ali. Pertama golongan
yang menolak arbitrase yang disebut dengan Khawarij (keluar dari kelompok Ali).
Kedua golongan yang tetap dalam barisan Ali yang disebut dengan syi’ah. Sehingga peristiwa arbitrase ini
telah melahirkan tiga kelompok Islam, yaitu Khawarij,
syi’ah, dan mu’awiyyah.[8].
Dua pendapat di atas harus dianalisa kembali, sebab mengenai asal-usul
kelahiran syi’ah terdapat beragam
pendapat, baik pendapat yang berasal dari pengikut syi’ah sendiri maupun pendapat selain syi’ah, berikut uraiannya:
1.
Pendapatan pengikut syi’ah
a. Pendapat
yang mengatakan bahwa syi’ah telah
lahir sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul. Abi Hasan
mengatakan bahwa kepemimpinan Ali telah tertulis di dalam mushhaf para nabi sebelumnya: “tidak diutus seorang Rasul kecuali
Muhammad SAW dan mewasiatkan Ali as sebagai khalifah.[9]
Sebagaimana dijelaskan di sebagian ayat al-Qur’an bahwa para Nabi terdahulu
diutus untuk menyeru kepada mentauhidkan Allah SWT dan tidak ada satu ayat pun
yang menjelaskan tentang wasiat Ali sebagai khalifah. Seperti firman Allah
dalam surat al-A’raf ayat 59:
لقدارسلنا نوحاالى قومه فقال يا قوم
اعبدوا الله مالكم من اله غيره
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah sesunggunya tidak
ada Tuhan bagimu selain Ia…”.[10]
b. Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah ada pada zaman Nabi SAW,
dengan alasan bahwa pada masa Nabi telah banyak para sahabat menjadi pengikut Ali (tasyi’). Al-Qimiy mengatakan bahwa: syi’ah Ali telah ada sejak zaman Nabi dan setelahnya, adapun para
sahabat yang mengakui keimaman Ali di antaranya adalah: al-Miqda ibn Aswad,
Salman al-Farisi, abu zar Jundib ibn Janadah al-Gaffariy, dan Ammar ibn Yasar
al-Madzhajiy. Salman al-Farisi adalah Amil kahlifah Umar di Kuffah dan Ammar
ibn Yasar di beberapa kota, diartikan sebagai pengikut setia Ali dan menolak
kekhalifan sebelumnya (al-Rafidhah), maka
tentu kedua sahabat di atas tidak akan menjadi amil pemerintahan Umar ibn
Khattab.
c.
Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah telah lahir pada waktu peperangan Jamal. Ibn Nadim berkata:
“Ali memerangi Thalhah dan Zubair untuk membunuh keduanya, maka orang yang ikut
membantu Ali dalam peperangan itu disebut dengan syi’ah”[11]
Disini kata syi’ah dimaknai oleh
ibn Nadim dengan pengikut atau penolong Ali, maka pertolongan pertama yang
diberikan oleh pengikut Ali adalah pada peperangan Jamal.
2.
Pendapat selain Syi’ah
a.
Pendapat yang mengatakan bahwa syi’ah muncul setelah wafatnya Nabi,
ketika mencuat isu bahwa Ali-lah yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi.
Ahmad Amin mengatakan bahwa benih pertama kelahiran syi’ah adalah ketika wafatnya Nabi bahwa ahli al-bait adalah orang-orang yang utama untuk menggantikan Nabi,
dan yang utama dari kalangan ahli al-bait
adalah Ali ibn Abi Thalib.[12]
b. Syi’ah muncul setelah terbunuhnya Utsman
dan munculnya Abdullah ibn Saba'[13].
Abdullah ibn Saba’ adalah orang yang pertama kali menanamkan benih syi’ah. Ia adalah orang Yahudi yang
berpura-pura masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman. Dialah yang pertama
kali mengisukan bahwa yang berhak menggantikan Nabi adalah Ali, dan ia juga yang
mengobarkan api peperangan antara Ali dan Mu’awiyyah (perang Siffin), dan
Aisyah (perang Jamal).[14]
Di antara pendapat-pendapat di
atas, secara umum dapat diurutkan sesuai dengan perjalanan sejarah, yaitu: (1)
sebelum diutusnya Nabi, (2) pada masa Nabi, (3) setelah wafatnya Nabi, (3) pada
masa Nabi akhir kekhalifahan Ustman. Dan pendapat ketiga dapat pula dibagi
menjadi tiga, yaitu: (a) pada peperangan jamal (b) pada peristiwa arbitrase
(perang Siffin), dan (c) munculnya Abdullah ibn Saba’.
Jika disimak secara objektif dan
konferhensif, sebenarnya kajian tentang asal-usul syi’ah dapat dilihat dari dua aspek, pertama syi’ah sebagai suatu pandangan (syi’isme) dan kedua syi’ah sebagai suatu mazhab atau aliran
(dalam arti telah terbentuknya mazhab syi’ah).
Dari perjalanan sejarah, pandangan yang mengarah pada pengagungan Ali sudah ada
sejak zaman Rasulullah – namun pandangan tentang adanya isyarat syi’ah sebelum diutusnya Rasulullah amat
sulit diterima, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan
alasan[15],
bahwa:
1.
Ali Ibn Thalib adalah orang yang memberikan
dukungannya kepada Nabi tatkala Nabi mendapat cemoohan.
2.
Ali adalah sosok figur yang telah berhasil
menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya.
Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAW
hendak berhijrah ke Madinah, dan kepahlawanannya di medan perang Badar, Uhud,
Khandaq dan Khaibar.
3.
Ali pernah diangkat oleh Nabi sebagai wakilnya di
Madinah ketika Nabi melakukan ekspansi ke Tabuk. Dan lain-lain.
Semua peristiwa di atas terjadi
pada masa Nabi sehingga ia menjadi sebagian alasan bagi segelintir kalangan
untuk mengutamakan Ali. Selain itu Ali adalah keturunan dekat Nabi. Sehingga
keistimewaan Ali menjadi legitimasi atas munculnya syi’isme. Dan tidak salah kiranya pandangan ini berkembang dan
menuntut realisasi setelah Nabi wafat. Sesaat setelah Nabi wafat terjadi
peristiwa saqifah bani sa’idah. Peristiwa
ini menjadi event penting yang perlu digarisbawahi karena pengangkatan khalifah
Abu bakar oleh kaum anshar dan Muhajirin, dianggap sebagai perampasan hak Ali.
Ini menunjukkan bahwa setelah Nabi wafat baru lahir syi’ah sebagai suatu pandangan.
Kelahiran syi’ah sebagai suatu mazhab tidak terlepas dari pandangan di atas,
oleh karena itu kita bisa mengklaim satu pendapat yang benar. Pendapat umum
mengatakan bahwa syi’ah sebagai suatu
mazhab lahir pada masa akhir pemerintahan Utsman ibn Affan, hal ini pun masih
diperselisihkan. Jika ibn Nadim mengatakan bahwa syi’ah sebagai suatu mazhab lahir pada waktu peperangan Jamal, juga
dapat dibenarkan, dimana ibn Nadim memahami syi’ah
sebagai pengikut atau penolong Ali, maka pertolongan pertama yang diberikan
oleh pengikut Ali adalah pada peperangan Jamal. Namun tidak semua pengikut dan
penolong Ali pada peperangan Jamal setuju dengan peristiwa tahkim. Pengikut dan penolong Ali yang setia tentu yang sependapat
dengannya. Jika demikian, maka peristiwa tahkimlah
yang memutuskan hitam dan putihnya kelahiran syi’ah sebagai suatu mazhab. Sedangkan kemunculan Abdullah ibn
Saba’ adalah pewarna bagi perkembangan syi’ah
serta telah melahirkan corak teologi syi’ah
yang ekstrim.
D. Ajaran Syi’ah
Pengikut syi’ah mengatakan bahwa persoalan Imamah dan khilafah mestilah
ditetapkan berdasarkan pencalonan dan penunjukan baik terbuka maupun tertutup.
Mereka meyakini bahwa persoalan Imamah
haruslah berasal dari keluarga Ali, jika Imamah
itu pernah berada dari selain keluarga Ali hal itu merupakan kekeliruan yang
dilakukan oleh pihak lain di pihak imam yang benar. Imamah bukanlah masalah sipil yang dapat diselesaikan melalui
pemilihan yang dilakukan oleh publik, akan tetapi ia adalah masalah yang pokok;
ia merupakan rukun agama. Oleh karenanya tidak boleh bagi Rasul menyepelekannya
apalagi menyerahkan pada publik, ia bahkan wajib bagi Rasul menentukannya.[16]
Selain itu syi’ah berkeyakinan bahwa para Nabi dan imam ma’sum terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, demikian juga
dengan imam-imam sesudahnya. Ali ditunjuk oleh Nabi sebagai penggantinya
melalui wasiat, oleh karena itu syi’ah meyakini
bahwa imam dipilih melalui wasiat imam sebelumnya.[17]
Secara tegas dapat dikatakan bahwa imam adalah perantaraan Tuhan dan manusia.
Ia berfungsi sebagai pemimpin agama (spiritual) dan nagara (politik).[18]
Oleh karena itu, bagi syi’ah, imam
diletakkan sebagai salah satu rukun iman yang wajib di ikuti dan ditaati.
E. Sekte-sekte Syi’ah
dan Ajarannya
Menurut al-Syahrastaniy, syi’ah terdiri dari lima sekte, yaitu: Kaisaniyyah, Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah.[19]
Dalam sub-bab ini, sesuai dengan silabus, penulis hanya akan membahas tiga
sekte yaitu: Zaidiyyah, Imamiyyah, Ghulat.
1.
Zaidiyyah
Golongan Zaidiyyah merupakan pengikut Zaid Ibn Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn
Abi Thalib. Mereka berpegang bahwa Imamah
menjadi milik keturunan Fathimah dan tidak boleh dipegang oleh orang lain.
Tetapi mereka mengakui semua golongan Fathimah yang terpelajar shaleh, berani
dan dermawan sebagai imam yang wajib ditaati, apakah ia dari keturunan Hasan
ataupun Husain. Oleh karena itu golongan Zaidiyyah
juga mengakui keimaman Imam Muhammad dan Imam Ibrahim anak dari Abdullah
ibn Hasan yang memberontak pada pemerintahan Mansur. Mereka juga menolak
kemunkinan dua imam pada dua daerah yang berbeda, kecuali kedua imam tersebut memiliki
syarat di atas.[20]
Zaid memandang bahwa ada kemungkinan
seseorang yang kurang utama (al-mafdhul)
untuk menjadi Imam, meskipun ada orang yang lebih utama (afdhal) darinya. Zaid berpendapat bahwa Ali Ibn Abiy Thalib adalah
orang yang lebih utama dari para sahabat, namun khalifah pertama dipercayakan
kepada Abu Bakar, hal ini karena pertimbangan mashlahah, dan kaedah agama yang mereka perpegangi, yaitu untuk
membendung timbulnya fitnah, serta untuk menenangkan hati rakyat. Peperangan
diikuti Ali pada zaman Nabi, masih terniang di pikiran orang Quraisy dan orang
kafir lainnya, maka dikhawatirkan akan adanya penuntutan balas kepada Ali,
sehingga walaupun Ali lebih utama dari yang lain sulit untuk diterima secara
politik, maka amat sangat bijaksana kiranya bila jabatan Imam diberikan kepada
Abu Bakar sebagai orang yang dikenal dan diterima masyarakat baik hati, paling
awal masuk Islam serta dekat dengan Nabi. Ketika Abu Bakar menyerahkan jabatan
Imam kepada Umar, sementara Ali dalam kondisi sakit, prosesi transisi tersebut
dianggap suatu hal yang bijaksana. Singkat kata, syi’ah Zaidiyyah mengakui khalifah Abu Bakar dan Utsman. Ketika
pendapat Zaid di atas didengar oleh pengikut syi’ah di Kuffah mereka menolak Zaid sepanjang hayat. Dan karena
alasan inilah ia disebut dengan penganut Rafidhah.[21]
Aliran Zaidiyyah berkeyakinan bahwa seorang imam tidak ditunjuk langsung
oleh Nabi, akan tetapi ditentukan oleh Nabi sifat-sifatnya saja, diantaranya
berasal dari Bani Hasyim, wara’,
(saleh, menjauhkan diri dari dosa), bertakwa, membaur dengan rakyat untuk
mengajak mereka sehingga rakyat mengakui ia sebagai imam. Oleh karena alasan
inilah bahwa Ali lah yang berhak menjadi imam, sebab Ali memenuhi sifat-sifat
tersebut. Dan adapun yang berhak menjadi imam setelah Ali diisyaratkan pula
harus berasal dari keturunan Fathimah.[22]
Selain itu, bagi Syi’ah Zaidiyyah, Imamah
tidak boleh bersifat anak-anak dan tidak pula bersifat ghaib. Ia harus memiliki kemampuan dalam memimpin perang suci,
mempertahankan masyarakat, dan seorang mujtahid.[23]
Ketaatan kepada imam hanyalah dalam kebaikan. Imam yang baik, taat, dan adil
wajib ditaati.[24]
Zaid Ibn Ali pernah belajar
teologi kepada Washil ibn Atha’, seorang pemuka mu’tazilah, konon pengikutnya Zaid menjadi orang mu’tazilah. Hubungan Zaid dan Washil
membuat kemarahan pengikutnya, karena Washil ragu-ragu dalam menentukan posisi
Ali dalam perang Jamal. Washil tidak sepenuhnya yakin bahwa Ali berada dalam
pihak yang benar.[25]
Oleh karena itu pemikiran Zaid banyak dipengaruhi oleh gurunya. Contoh keyakinannya
adalah bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Al-Qur’an adalah makhluk, dan tidak
menerima takdir begitu saja.[26]
Orang yang melakukan dosa besar tidak kekal di dalam neraka, selama mereka
belum bertaubat dengan taubat sebenar-benarnya.[27]
Dalam perkembangan selanjutnya syi’ah Zaidiyyah terpecah menjadi empat
kelompok, yaitu: Jarudiyyah pengikut
Abu al-Jarud Ziyad ibn Abu Ziyad, Sulaimaniyyah
pengikut Sulaiman ibn Jarir, Shalihiyyah
pengikut Hasan ibn Shalih ibn Hayy, dan Bitriyyah
pengikut Katsir al-Hawa al-Abtar.[28]
Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan
bahwa Zaidiyyah dalam perkembangannya
terbagi menjadi dua, pertama para
penganut Zaidiyyah generasi pertama,
dipandang tidak ekstrim karena mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar, kedua pengikut Zaidiyyah generasi belakangan, dipandang ekstrim karena tidak
mengakui keimaman Abu Bakar dan Umar.[29]
2.
Imamiyyah
Disebut Imamiyyah
karena yang menjadi paham dasar aqidah mereka adalah imamah. Sekte ini juga dikenal dengan syi’ah istna al-asyariah (syi’ah
12), karena mereka meyakini imam yang dua belas,[30]
sebagaimana terdapat dalam silsilah di atas. Selain itu, ia juga
[1]Ahmad Worson Munawir
(selanjutnya disebut dengan Munawir), kamus
Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, ( Surabaya: Pustaka Proggresif, 1997)
Cet. Ke-16, h. 809
[2]Louis Ma’luf, Munjid fi Lughah al-Arabiyyah al-Mu’ashirah,
(Bairut: Dar al-Masyruq, 2000), h.709
[3]Nashir ibn Abdillah ibn
‘Ali al-Qifariy, Masalah al-Taqrib baina
ahli al-Sunnah wa al-syi’ah (selanjutnya disebut dengan al-Qifariy, al-Taqrib). (Riayadh, Dar Thibah, 1418
H), h.119
[4]Umar Abduh dan Kartos Away
(Ed.), Mengapa kita Menolak Syari’ah, (Jakarta:
LIPPI, 1998), h. 3
[5]Nashir ibn Abdillah ibn
‘Ali al-Qifariy, Ushul Mazhab Al-Syi’ah
Al-Imamiyah Itsna Asyarairah ‘Ardh wa Naqd (selanjutnya disebut dengan
al-Qifariy, ushul Mazhab), (Riayadh,
Dar Thibah, 1994), jilid 1, h.30
[6]Abi Al-fath Muhammad Abd
al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad Al-Syahrastaniy (selanjutnya disebut dengan
Al-Syahrastaniy), al-Milal wa al-Nihal, (Bairut:
Dar al-Fikr, 1997), h. 118
[7]Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam
(penterjemah: Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, judul asli : Tarikh
Al-Mazdahib al-Islamiyyah), (Jakarta: Logos, 1996), h. 36
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta:
UI-Press 2001), jilid I, h. 89-90
[9] al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit, h. 57
[10]Al-A’raf ayat 65
menjelaskan tentang Nabi Nuh As. Al-A’raf ayat 73 menjelaskan tentang Nabi
Shaleh As. Al-A’raf ayat 85 menjelaskan tentang Nabi Syu’aib As.
[11] Ibid. h. 67
[12] Ahmad Amin, Fajru al-Islam. (Mesir: Maktabah
Al-Nahdhah. 1965). h. 266
[13] al-Qifariy, Ushul Mazhab, op.cit., h.71. 71. Lihat:
Muhammad Kami al-Hayimi, Hakikat Aqidah
Syi’ah, (Penterjemah: H. M. Rasjidi, Judul Asli: Aqaid Syi’ah fi al-Mizan), (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989). h. 13
[14] Umar Abduh dan Kartos
Away, op.cit., h.4-5
[15] S.H.M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah:
dari Saqifah sampai Imamah, (Penterjemah: Meth Keirana, judul asli: Origin and Early Development of Shi’a
Islam), (Bandung: Pustaka Hidayat, 1995), h. 48-49. Lihat Fuad Moch.
Fachruddin, syi’ah Suatu Pengamatan
Kritikal, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), 4-5
[16] al-Syarastaniy, op.cit.,
h.118. lihat juga: Ahmad Amin, h. 267
[17] Ibid
[18] Yahya Jaya, teologi Agama Islam Klasik. (Padang:
Angkasa Raya, 2000), h. 89
[19] al-Syahrastaniy, op.cit.
[20] Ibid. h. 164
[21] Ibid. h. 165
[22]Muhammad Abu Zahrah,
op.cit,. h.47
[23] Yahya Jaya, op.cit.,
h. 94
[24] Ibid. h. 95
[25] Al-Syahrastaniy, loc.cit.
[26] Yahya Jaya, loc.cit.
[27] Muhammad Abu Zahrah, loc,cit.
[28]Al-Syahrastaniy,
op.cit. h. 157-161
[29] Muhammad Abu Zahrah,
op.cit., h. 50
[30] Yahya Jaya, op.cit.,
h. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar