1.
PENDAHULUAN
Sebelum datang agama islam
adalah manusia berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan dari segi
berfikir dan bertindak. Mereka hanyut dalam kegelapan dan tidak mengenal
peradaban sebagaimana hidupnya kabilah-kabilah yang saling berdampingan namun
tidak punya rasa tenggangrasa antar sesama. Seperti hidupnya para
kabilah-kabilah di kawasan Najd, Iraq, Syam, Hijaz, Bahrain, ‘Amman, Yaman dan
penduduk yang tinggal di padang pasir (البداوى).[1]
Dengan
hadirnya agama Islam melalui ilmu yang selalu menjadi landasan dalam berfikir
dan bertindak, umat islam menjadi umat yang maju bahkan mengalahkan cara
berfikir dan bertindaknya bangsa eropa, bahkan umat islam bisa membuat bangsa
eropa terbelalak melihat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat islam
terhadap nilai-nilai akhlak dan keilmuan yan sangat tinggi, sehingga menghasilkan
para ilmuan yang pakar-pakar dalam berbagai bidang termasuk bidang filsafat.
Sebagai contoh Andalus, yang
merupakan pusat kebudayaan islam di eropa yang telah menghasilkan ilmuan kelas
dunia sehingga didatangi banyak pelajar dari bangsa eropa seperti Ibnu Rusdy,
Imam Thobary, dsb. untuk membangkitkan semangat dalam mempelajari ilmu
filsafat, ia berusaha memberikan pengertian bahwa ilmu filsafat itu tidak
bertentangan dengan wahyu Allah Swt. Melalui karya-karyanya dia berusaha
mewujudkan itu, diantaranya adalah kisah roman yang berjudul Hayy Ibn
Yaqzhan. Dengan roman ini, dia mencoba menerangkan antara filsafat dan
agama. Bagaimanakah Ibnu Tufail menuangkan hasil karyanya dalam roman ini?,
Insyaalah penulis akan memberikan keterangannya dalam makalah ini dari berbagai
sumber yang penulis dapatkan, diantaranya dalam buku كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها karangan
Yusuf Farhat.
2.
Biografi
Nama lengkapnya adalah
Muhammad Bin Abdul Malik, dengan gelar Abu Bakar dan dinisbahkan kepada bani
Qois. Dia dilahirkan di desa وادى أش cadix Granada Andalus, adapaun tanggal kepastian
dari kelahirannya tidak begitu diketahui secara pasti, namun para ahli
penghubung sejarah memberitakan kelahiran Ibnu Tufail pada abad ke-6 H[2],
dan dalam buku Filsafat Islam, Prof. Dr. Sirajuddin Zar menulis bahwa
kelahiran Ibnu Tufail pada tahun 506/1110 M.[3]
Disisi
lain latar belakang sejarah dari Ibnu Tufail hampir sulit dijumpai, demikian
juga dengan para guru-gurunya dan perjalanan dalam mencari ilmu pengetahuan,
dugaan kuat dia pernah belajar di Secville karena kota tersebut merupakan pusat
kegiatan keilmuan terbesar di Andalus pada sat itu. Ada yang mengatakan Ibnu
Tufail mempelajari ilmu kedokteran di Granada dan ada pula yang mengatakan dia
murid dari Ibnu Majjah, tapi dia sendiri mengaku tidak pernah bertemu dengan
filosof itu.[4] Jadi
selain menjadi filosof, Ibnu Tufail juga terkenal dengan bidang kedokteran,
matematika dan penyair, dimana lewat karir dokternya dia menaiki tangga
kesekretariatan Gubernur Ceuta dan Tangier putra Abdul Mu’min, penguasa Daulah
Muwahhidun Spayol pertama yang merebut Marocco pada tahun 542 H yang
kemudian menjabat sebagai dokter tinggi dan menjadi Qodhi di pengadilan
khalifah Abu Ya’qub Yusuf (558-580 H). Pada tahun 578 H Ibnu Tufail
mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa sudah tua dan lemah dan
berdasarkan sarannya juga, jabatan dokter istana diserahkan oleh penguasa Daulah
Muwahidun kepada Ibnu Rusdy. Tiga
tahun setelah itu, Ibnu Tufail wafat dan pemakamannya dihadiri oleh penguasa
dan pembesar Daulah Muwahhidun.[5]
Berpijak
pada jabatan terakhir inilah Ibnu Tufail mendapat kesempatan Penuh untuk
mengembangkan filsafatnya, tapi sayang hanya sedikit sekali karya-karyanya yang
sampai ke kita selain Hayy Ibn Yaqzhan. karya ini merupakan suatu roman
filsafat pendek, namun memberikan pengaruh yang begitu besar sehingga karya
tersebut dianggap sebagai salah satu buku yang paling mengagumkan. Hal ini
terbukti dengan banyaknya buku ini yang diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani,
Latin, Inggris, Belanda, Prancis, Spayol, Jerman, Rusia, hingga pada zaman modern
pun minat terhadap karya ini masih tetap ada. Ahmad Amin menerbitkan dalam edisi
bahasa arab, yang diikuti terjemahaannya pada bahasa Persi dan Urdu.[6]
3.
Filsafat Hayy Ibn Yaqzhan
Dikarenakan
karya beliau yang tinggal adalah kisah Hayy Ibn Yaqhzan, maka untuk
mengetahui filsafat Ibn Tufail tentu dengan cara mentelaah kisah in, sebab ia
mengekpresikan filsafatnya dalam bentuk narasi. Ada yang mengatakan bahwa kisah
ini ditulis oleh Ibn Tufail sendiri sebagai jawaban atas permintaan seorang
sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran. Ada juga yang mengatakan
tulisan ini erat kaitannya dengan serangan Al-Ghazali terhadap dunia filsafat.
Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha filosof muslim yang
telah mendamaikan antara filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga
buku-buku filsafata selama ini hanya untuk kalangan tertentu, sekarang telah
dapat pula dipahami oleh orang awam. Karena itu amat logis buku Ibnu Tufail ini
ingin menetralisir keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ke tempatnya yang
semula[7].
Dari
keringkasan isi cerita tersebut, sebenarnya Ibn Tufail hendak mengemukakan
kebenaran berikut ini, seperti yang yang ringkas oleh Nadhim al-Jist dalam buku
Qissat al-iman sebagaimana yang berikut :
A.
Urutan-urutan tangga ma’rifat yang ditempuh oleh akal, dimulai dari
obyek-obyek indrawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
B.
Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud tuhan,
yaitu dengan melalui tanda-tandanyapada makhluknya dan menegakkan dalil-dalil
atas wujudnya.
C.
Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mampuan
dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan
keazalian mutlak, ketidak akhiran, zaman Qodim, hudust (baru) dan
hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
D.
Baik akal menguatkan qodimnya alam dan kebaharuannya, namum kelanjutan
dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya tuhan.
E.
Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan
dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan
diri dengan dasar-dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan
keinginan-keinginan badan pada hukum pikiran, tanpa melalaikan badan, atau
meninggalkan sama sekali.
F.
Apa yang diperintahkan oleh syariat islam dan apa yang diketahui oleh
akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebanaran, kebaikan dan keindahan
dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
G.
Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara’
yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya dan
membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka, juga pokok
pangkal segala kebaikan adalah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan
pendalaman sesuatu.[8]
Sebagai
bentuk corak filsafat Ibn Tufail, pada makalah ini kisah tentang Hayy Ibn
Yaqzhan akan dicantumkan secara ringkas, bahwa salafus shalih kita
terdahulu mengisahkan disuatu pulau dari berbagai banyak kepulauan di India,
yang terletak dibawah garis khatulistiwa, lahirkan seorang manusia tanpa ayah
dan ibu, yang manusia tersebut dibesarkan oleh alam[9],
karena kepulauan tersebut memiliki iklim dan keadaan tanah yang stabil serta
dibentangi oleh cahaya dari ufuk timur yang sempurna. Dipulau yang indah, luas,
dan mukayafah (cocok dengan habitat/keadaan) tersebut memiliki banyak
sekali faedah-faedah dan nilai-nilai kemakmuran bagi manusia, yang konon kabar
dimiliki oleh seorang laki-laki yang mempunyai keinginan yang kuat tinggal
disana serta mempunyai saudara perempuan yang cantik jelita[10].
Dan
didalam buku Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban karangan Taufik Abdullah pun digambarkan tentang kisah yang sama, dengan
mengisahkan seorang bayi laki-laki yang berada disebuah pulau, bayi itu boleh
jadi muncul karena terbentuknya percampuran tanah dan air sedemikian rupa
sehingga cocok untuk dimasuki oleh jiwa manusia, dan lahirlah bayi tersebut
dengan nama Hayy Ibn Yaqzhan. Bayi yang dibesarkan dan diasuh oleh alam
ini dapat terus hidup dengan lingkungannya, dan dapat berkembang baik menjadi
manusia dewasa yang berada dilingkungan alam binatang seperti seekor rusa
sebagaimana yang ada dalam buku tersebut. Akal sehatnya berkembang sedemikian
rupa menurut sunnahtullah sehingga dia bukan saja mampu berfikir tentang
dunia fenomena, namun juga dapat menangkap hal-hal yang absrak dan mengetahui
adanya tuhan, pencipta sekalian alam. Dia bahkan dengan mata batinnya dapat
melihat tuhan, dan merasa dekat denganNya serta merasa bahagia.
Tidak
jauh dari pulau itu terdapat pula pulau lain yang dihuni oleh satu masyarakat
manusia. Absal dan salaman yang termasuk pemuka dalam masyarakat itu adalah
penganut agama wahyu, namun memiliki kecendrungan yang berbeda. Absal banyak
tertarik pada pengertian metaforis dan teks-teks agama, sedangkan salaman lebih
cendrung kepada arti-arti lahiriyah, sejalan dengan sikap masyarakat umumnya
pada pulau tersebut. Absal kemudian mengasingkan diri dari masyarakat, dan pada
suatu hari Absal menyeberang ke pulau yang dihuni Hayy Ibn Yaqzhan, dan
keduanya berjumpa dan setelah Hayy Ibn Yaqzhan diajari pandai berbicara,
keduanya saling berdialog dan berkisah. Hayy dengan mudah dapat memahami dan
menyetujui keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Absal tentang tuhan,
syurga, neraka, hari berbangkit, timbangan, jalan lurus dsb, sebagaimana yang
diajarkan oleh wahyu. Disisi lain Absal pun dengan mudah memahami apa yang
diterangkan oleh Hayy tentang hasil renungannya dengan alam dan pengalaman
rohaniahnya dengan tuhan, dan akhirnya kedua insan tersebut saling membenarkan
satu dengan yang lain. Serta keduanya bersepakat untuk menyeberang kepulau yang
dihuni oleh salaman, dengan maksud mengajak salaman dan masyarakat sepaya
beragama dengan pemahaman-pemahaman yang ada pada kedua insan tersebut. Dan
ternyata salaman dan masyarakatnya tidak tertarik dengan ajakan dari Hayy dan
Absal, hingga akhirnya keduanya sadar bahwa dengan pemahaman seperti yang
berkembang pada masyarakat itu tidak perlu diajak memahami agama seperti yang
dipahami oleh Hayy dan Absal, dan akhirnya keduanya kembali kepulau yang tidak
berpenghuni tadi dan melanjutkan ibadah serta tafakurnya depada Tuhan seperti
sebelumnya.[11]
Dari
kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini, Ibnu Tufail membuktikan bahwa manusia yang masih
bersih dan suci dan belum terpengaruh oleh fikiran dan pemahaman lain akan
mampu mengenal Allah sebagai sang khalid, dia juga bisa membedakan antara yang
baik dan yang buruk serta dia akan mengetahui bahwa hidup ini akan berakhir dan
akan ada balasannya. Inilah fitrah manusia, suci dan bersih yang telah
dianugrahkan oleh Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasullah Saw
عن أبى هريرة رضى الله عنه, عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال : كل ولد يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه او ينصرانه او
يمجسانه (رواه مسلم)[12]
“setiap
anak yang dilahirkan itu berada dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua Ibu Bapaknyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majudi (HR.
Muslim).
Dari hadits yang mulia ini
dapat kita petik sebuah hikmah, jika seandainya manusia itu dibiarkan dengan
fitrahnya, maka dia akan berjalan dengan baik dan bisa mengenal Allah seperti
yang digambarkan oleh kisah diatas tadi. Seperti filosof lain, Ibnu Tufail pun
membahas beberapa permasalahan pokok dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, seperti
ketuhanan, fisika, jiwa, epistemologi, rekonsiliasi antara filsafat dengan
agama.
A.
Ketuhanan
Konsep ketuhanan, dengan
arti seorang makhluk bisa meyakini adanya pencipta alam semesta. Didalam kisah Hayy
Ibn Yaqzhan, dengan kekuatan nalar dan renungan terhadap alam sekitarnya,
dia meyakini adanya pencipta, dia juga meyakini bahwa alam yang indah dan
tersusun rapi ini tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur
dan menciptakannya. Ada 3 argumen yang dimukakan oleh Ibn Tufail untuk
membuntikan adanya Allah, yaitu:
1.
Argumen
Gerak (al-harakah)
Bagi orang yang meyakini
adana qodim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di alam dari potensial ke
aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk ada yang lain.
Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam baru, penggerak ini berfungsi
mengubah alam dari tidak ada menjadi ada. Argemen gerak ini sebagai bukti alam
qodim dan barunya belum pernah dikemukakan oleh filosof muslim manapun
sebelumnya, dan dengan argemen ini Ibnu Tufail memperkuat argumentasi bahwa
tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.[13]
B.
Argumen
Materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya
dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan oleh Ibn
Tufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait satu dengan yang lainnya,
yaitu sebagai berikut :
*. Segala yang ada ini
tersusun dari materi dan bentuk
*.
Setiap materi membutuhkan bentuk
*.
Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak
*.
Segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta
Dengan argumen ini dapat dibuktikan adanya Allah
sebagai pencipta alam ini, dia mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal
dan berakhir.
C.
Argumen
al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-ilahiyyat
Maksudnya segala sesuatu
yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu, dan ini merupakan inayah dari Allah.
Ibnu Tufail juga filosof lain yang berpegang pada argumen ini sesuai dengan
Qur’ani, dan menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan.[14]
Menurut Ibn Tufail alam ini
tersusun sangat rapi dan sangat teratur, semua planet seperti matahri, bulan,
bintang dan lain-lainnya teredar secara teratur. Begitu jug ajenis hewan,
semuanya dilengkapi dengan anggota tubuh yang begitu rupa. Semua anggota tubuh
tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sangat efektif kemanfaatannya
bagi hewan yang bersangkutan, tampaknya tidak satupun ciptaan Allah ini yang
tidak percuma.[15]
Ketiga argumen yang dikemukakan oleh Ibn Tufail ini membuktikan adanya Allah
sebagai sang pencipta.
2.
Fisika
Menurut Ibn Tufail alam ini
qodim dan juga baru, alam qodim karena Allah menciptakan sejal azali, tanpa
didahului oleh zaman. Dilihat dari esensinya, alam adalah baru karena wujudnya
alam tergantung pada zat Allah.[16]
Sebagaimana ketika anda menggegamkan suatu
benda, kemudian anda menggerakkan tangan anda, maka benda mesti bergerak
mengikuti gerak tangan anda dan gerakan benda tersebut tidak terlambat dari
segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat, demikianlah alam ini,
semuanya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah
إنما أمره إذا اراد شيئا ان يقول له كن
فيكون (82)
“Sesungguhnya
perintah-Nya apabila menghendaki sesuatu hanyalah berkata ; Jadilah ! maka
terjadilah ia” (QS. Yasin : 82)[17]
3.
Jiwa
Jiwa manusia menurut Ibn
Tufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua
unsur yaitu jazad dan ruh, badan tersusun dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak
demikian. Jiwa bukan jisim dan bukan juga sesuatu daya yang ada didalam jisim.
Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa akan lepas dari badan dan
selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan
hidup dan kekal.[18]
Ibn Tufail mengelompokan
jiwa kepada tiga kelompok :
*. Jiwa
yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran
dan keagungannya dan sellu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal
dalam kebahagiaan.
*. Jiwa
yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, maka
jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
*. Jiwa
yang tidak pernah mengenal Allah selama hidup, maka jiwa seperti ini akan
berakhir seperti hewan.
4.
Epistemologi
Dalam epistemologi, Ibnu
Tufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra, dengan
pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang
bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat
dilakuakan dengan dua cara yaitu dengan renungan atau pemikiran, seperti yang
dilakukan oleh filosof muslim dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum
sufi, kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi Ibn
Tufail, hal ini dapat diraih oleh seseorang tergantung kepada latihan rohani,
tingkat pemikiran dan renungan akal.[19]
5.
Rekonsiliasi
antara Filsafat dan Agama
Melalui roman filsafat Hayy
Ibn Yaqzhan, Ibn Tufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak
bertentangan, dengan kata lain akal tidak bertentangan dengan wahyu.[20]
Dari kisah yang digambarkan
oleh Ibn Tufail, dimana tokoh Hayy dengan renungan, pemikiran dan
pengalaman sendiri, dia dapat mengetahui kebenaran, dan tatkala ia bertemu
dengan absal yang membawa kebenaran berdasarkan wahyu, ia langsung membenarkan
dan mengimaninya, ini menunjukan bahwa akal murni dan pemikiran yang tidak
benar bertentangan dengan wahyu, maka apa saja yang disampaikan oleh wahyu
langsung diimani oleh akalm karena akal meyakini kebenaran yang dibawa oleh
wahyu disebabkan wahyu langsung datang
dari Allah yang tidak dikeragui lagi kebenarannya, seperti halnya pembenaran Hayy
terhadap apa yang dibawa oleh Absal.
Ibn Tufail menyadari,
mengetahui dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang khusus, dan orang awam tidak mungkin dapat
melakukannya, justru itu bagi orang awam sangat diperlukan adanya ajaran agama
yang dibawa oleh Nabi.[21]
Agama diturunkan untuk semua
orang dalam tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang yang
bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama
melambangkan dunia atas semua lambang-lambang eksoteris, agama penuh
dengan perbandingan, persamaan, dan persepsi-persepsi antopomorfis sehingga
cukup mudah dipahami oleh orang banyak, dan filsafat merupakan bagian dari
kebenaran esoteris yang menafsirkan lambang-lambang itu agar diperoleh pengertian-pengertian
yang hakiki. Kenyataannya ibn Tufail berusaha dengan penuh kesungguhannya untuk
merekonsiliasikan antara filsafat dan agama, Hayy dalam roman
filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah,
sedangkan Absal ia lambang sebagai wahyu dalam bentuk esoteris yang membawa
hakekat, sementara salaman ia lambangkan
sebagai agama yang juga membawa kebenaran dalam bentukk esoteris,
kebenaran yang dibawa filsafat tidak bertetangan dengan kebenaran yang
dikehendaki agama karena sumbernya sama yakni Allah Swt.
4.
Kesimpulan
Dari
kisah roman yang dikisahkan oleh Ibn Tufail, kita dapat memetik kesimpulan
secara akal dan iman, bahwa sumber inti dari diri manusia adalah kebenaran yang
suci dan tidak ternoda, sehingga jika ada pengaruh luar yang masuk, pengaruh
tersebutlah yang merusak dan menodai kesucian diri manusia tersebut,
sebagaimana gambaran hadist dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim diatas tadi.
[1]
Yusuf Farhat, كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها , (Ganef:تراد كسيم-شركة مساهمة سويسرية, 1986), cet.1,
hal.7
[3]
Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam;Filosof dan Filsafatnya, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h.205
[4]
A. Tasman Ya’cub, Filsafat
Islam; Profil filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur Tengah dan Barat,
(Padang: IAIN Press 1999)h.96
[5]
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoere), h.207
[6]
Sirajuddin Zar, op.cit,
h.207
[7]
ibid
[8]
A. Tasman Ya’cub, op.cit,
h.99
[9]
Didalam buku كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامه karangan Yusuf Farhat di istilah dengan
kata-kata شجر
[11]
Taufik Abdullah, op.cit, h.207-208
[13]
Sirajuddin Zar, op.cit,
h.213
[15]
Ibid
[17]
ibid
[21]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar