A. PENDAHULUAN
Semua orang
diwajibkan untuk memeluk agama Islam yang merupakan agama yang Haq, satu-satunya agama yang diterima oleh Allah
rabbul ‘alamiin. Setelah memeluk agama Islam maka semua orang Islam diwajibkan
untuk menjalankan syari’at Islam secara utuh dan menyeluruh agar ia selamat
dunia dan akhirat.
Akan tetapi
dengan hanya menjalankan syari’at saja, hamba yang taat masih belum puas
hatinya masih belum merasakan ketenangan dan keindahan, oleh sebab itu ia
berusaha mencari jalan untuk lebih dekat dan sangat dekat sekali dengan
Tuhannya untuk mencapai puncak
kebahagiaan di dunia sebelum akhirnya ia melihat wajah Tuhanya di surga kelak. Jalan itulah yang ditempuh
oleh orang-orang sufi dan sebahagian
orang sufi ada yang memiliki murid serta ajaran secara terorganisir maka inilah
yang disebut dengan Tarikat.
Tarikat
merupakan perjalanan seorang salik menjuju Tuhan dengan cara menyucikan
diri atau perjalanan yang ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri
kepada Tuhan dengan sedekat mungkin.
Untuk lebih
jelasnya permasalahan Tarikat ini, maka
pemakalah mencoba membahas Tarikat ini yang mencakup: pengertian Tarikat, asal
usul Tarikat, perkembangan Tarikat di Indonesi, kode etik Tarikat dan tata cara
pelaksanaan Tarikat.
B. PENGERTIAN
TARIKAT
Tarikat
(Tariqah jamaknya Taraa’iq). Secara etimologi berarti: (1) jalan, cara
(al-khaifiyah); (2) metode, sistem (al-uslub); (3) mazhab, aliran, haluan
(al-mazhab); (4) keadaan (al-halah); (5)
pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah at-tawilah); (6) tiang tempat berteduh,
tongkat payung (‘amud al-mizalah); (7) yagn mulia, terkemuka dari kaum (syarif
al-qaum); (8) goresan atau garis pada sesuatu (al-khat fi asy-syay)[1]
Jamil Shaliba mengatakan secara harfiah
tarikat berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan
dengan selamat. [2]
Selanjutnya pengertian tarikat
berbeda-beda menurut tinjauan masing-masing: di kalangan Muhaddisin tarikat
digambarkan dalam dua arti yang asasi. pertama : Menggambarkan sesuatu yang tidak
dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua : Didasarkan pada sistem yang jelas
yang dibatasi sebelumnya.
Selain itu tarikat juga diartikan
sekumpulan cara-cara yang bersifat renungan, dan usaha inderawi yang mengan-tarkan
pada hakikat, atau sesuatu data yang benar.[3]
Selanjutnya istilah tarikat lebih banyak
digunakan para ahli tasawuf, Mustafa Zahri dalam hal ini mengatakan; Tarikat adalah jalan atau
petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi'in dan tabi'it
tabi'in turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa
kita ini.
Lebih khusus lagi tarikat di kalangan sufiyah
berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari
sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan
memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata - mata untuk mengharapkan bertemu
dengan dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan. Jalan dalam tarikat itu antara
lain terus-menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan, dan
terus-menerus menghindarkan diri dari sesuatu yang melupakan Tuhan.[4]
Dalam pada itu Harun Nasution mengatakan
tarikat ialah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada
sedekat mungkin dengan Tuhan.[5] Hamka mengatakan bahwa di antara makhluk dan khaliq itu ada perjalanan hidup
yang harus ditempuh. Inilah yang kita katakan tarikat.[6]
Dengan memperhatikan berbagai pendapat
tersebut di atas, kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tarikat
adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang di dalamnya berisi
amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan
menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam tarikat ini ditunjukan untuk memperoleh hubungan
sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.
C. ASAL USUL TARIKAT
Tarikat berakar dari pengalaman seorang
sufi-ahli tasawuf dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana
yang kemudian dikembangkan pengikutnya. [7] Oleh karena itu, dalam perkembangan
selanjutnya, tarikat, sebagai disebutkan Harun Nasution, mengandung arti
organisasi (tarikat), yang mempunyai syaikh, upacara ritual dan bentuk zikir
tertentu.[8]
Guru dalam tarikat yang sudah melembaga itu
selanjutnya disebut Mursyid atau Syaikh, dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun
pengikutnya disebut murid. Sedangkan tempatnya disebut ribath atau zawiyah atau
taqiyah. Selain itu tiap tarikat juga memiliki amalan atau ajaran wirid tertentu, simbol-simbol kelembagaannya,
tata tertibnya dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara satu tarikat
dengan tarikat lainnya. Menurut ketentuan tarikat pada umumnya, bahwa seorang
Syaikh sangat menentukan terhadap muridnya. Keberadaan murid di hadapan gurunya
ibarat mayit atau bangkai yang tak berdaya apa-apa. Dan karena tarikat itu
merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka
orang yang menjalankan tarikat itu harus menjalankan syariat dan si murid harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:[9]
1. Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2.
Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin
untuk meng-ikuti jejak dan guru; dan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan
larangannya.
3.
Tidak mencari-cari keringanan dalam
beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4.
Berbuat dan mengisi waktu seefisien
mungkin dengan se-gala wind dan doa guna
pemantapan dan kekhusuan dalam mencapai maqomat (stasiun) yang lebih tinggi.
Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Ciri-ciri tarikat tersebut merupakan ciri yang pada umum-nya
dianut setiap kelompok, sedangkan dalam bentuk amal dan wiridnya berbeda-beda. Dengan ciri-ciri
tarikat yang demikian itu tidak mengherankan jika ada pendapat yang mengatakan
bahwa tarikat sebenarnya termasuk dalam ilmu mukasyafah, yaitu ilmu yang dapat
menghasilkan pancaran nur Tuhan ke dalam hati murid-muridnya, sehingga
dengan nur itu terbukalah baginya segala sesuatu yang gaib daripada
ucapan-ucapan nabinya dan rahasia-rahasia Tuhannya. Ilmu ini dilakukan dengan cara riadah/ latihan dan mujahadah.
Dengan demikian, tarikat mempunyai hubungan substansial dan
fungsional dengan tasawuf. Tarikat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang
menjadi pengikut bagi seorang syaikh. Kelompok ini kemudian menjadi lembaga - lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan sebagaimana
disebutkan di atas. Dengan kata lain, tarikat adalah tasawuf yang melembaga. Dengan demikian tasawuf adalah usaha mendekatkan
diri kepada Allah, sedangkan tarikat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseong dalam usahanya mendekatkan diri
kepada Tuhan. Inilah hubungan antara tarikat dan tasawuf.[10]
Dalam penamaan suatu Tarikat diambil dari
nama pimpinan kelompok belajarnya. Berikut ini akan dirincikan nama-nama Tarikat,
para pendiri dan pusatnya:[11]
NO
|
NAMA TARIKAT
|
PENDIRI
|
BERPUSAT
DI
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
|
ADHAMIAH
AHMADIYAH
ALAWIYAH
ALWANIYAH
AMMARIAH
ASYAQIYAH
ASYRAFIAH
BABAIAH
BAHRAMIYAH
BAKRIYAH
BEKTASYI
BISTAMIYAH
GULSYANIAH
HADDAIAH
IDRISIAH
IGHITBASYIAH
JALWATIAH
JAMALIAH
KABRAWIAH
KADIRIAH
KHALWATIAH
MAULAWIAH
MURADIAH
NAKSYABANDIAH
NIYAZIAH
NI’MATALLAHIAH
NURBAKHSYIAH
NURUDDINIAH
RIFAIAH
SADIYAH
SAFAWIAH
SANUSIAH
SAQATIAH
SIDDIQIAH
SINAN
UMMIAH
SUHRAWARDIAH
SUNBULIAH
SYAMSIAH
SYATTARIAH
SYAZILIAH
TIJANIAH
UMM
SUNANIAH
WAHABIAH
ZAINIAH
|
Ibrahim
bin Adham
Mirza
Ghulam Ahmad
Abu
Abbas Ahmad bin Mustafa al-Alawi
Syekh
Alwan
Ammar
Bu Senna
Hasanuddin
Asyraf
Rumi
Abdul gani
Hajji
Bahrami
Abu
Bakar Wafai
Bektasyi
Veli
Abu
Yazid al-Bistami
Ibrahim
Gulsyani
Sayyid
Abdullah bin Alawi bin Muhammad
al-Haddad
Sayid
Ahmad bin Idris bin Muhammad bin Ali
Syamsuddin
Pir
Uftadi
Jamaluddin
Najmuddin
Abdul
Qadir al-Jailani
Umar
al-Khalwati
Jalaluddin
al-Rumi
Murad
Syami
Muhammad
bin Muhamad bin al-Uwaisy al-Bukhari
naqsyabandy
Muhammad
Niyaz
Syah
Wali Ni’matillah
Muhammad
Nurbakh
Nuruddin
Sayid
Ahmad al-Rifa’i
Sa’dudin
Jibawi
Syafiuddin
Sidi
Muhammad bin Ali As-Sanusi
Sirri
Saqati
Kiai
Mukhtar Mukti
Alim
Sunan Ummi
Abu
an-Najib as-Suhrawardi dan Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah
as-Suhrawardi
Sunbul
Yusuf Bulawi
Syamsuddin
Abdullah
as-Syattar
Abul
Hasan Ali as-Syazilli
Abu
al-Abbas Ahmad bin Muhammad at-Tijani
Syekh
Umm Sunan
Muhammad
bin Abdul Wahhab
Zainuddin
|
Damaskus,Suriah
Qadiah,
India
Mostaganem,
Aljazair
Jiddah,
Arab Saudi
Constantine,
Aljazair
Istanbul,
Turki
Chin
Iznik, Turkis
Adrianopel(Edirne),Turki
Ankara,
Turki
Aleppo,
Suriah
Kir
Sher, Turki
Jabal
Bistam, Iran
Kairo,
Mesir
Hijaz,
Arab Saudi
Asir, Arab
Saudi
Magnesia,
Yunani
Bursa,
Turki
Istanbul,
Turki
Khurasan
Baghdad,
Irak
Kayseri,
Turki
Konya,
Anatolia
Istanbul,
Turki
Qasri
Arifan, Turki
Lemnos,
Yunani
Kirman,
Iran
Khurasan,
Iran
Istanbul,
Turki
Baghdad,
Irak
Damaskus,
Irak
Ardabil,
Iran
Tripoli,
Libanon
Baghdad,
Irak
Jombang,
Jawa Timur
Alwal,
Turki
Baghdad,
Irak
Istanbul,
Turki
Madinah,
Arab Saudi
India
Mekah,
Arab Saudi
Fes,
Maroko
Istanbul,
Turki
Nejd,
Arab Saudi
Kufah,
Irak
|
Dilihat dari historisnya, kapan dan Tarikat mana yang
mula-mula timbul sebagai lembaga, sulit diketahui karena tiadanya artifact
sejarah yang jelas. Namun selain yang termaktub di atas, ada juga
Tarikat yang pernah muncul dan telah hilang saat ini, yaitu[12]
:
1.
Tarikat Junaidiyah, Tarikat ini dinisbatkan
kepada Junaid.
2.
Tharikat Muhasabiyah, dinisbatkan kepada
al-Muhasibi
3.
Tarikat Qushariah, dinisbatkan kepada Hamdun
al-Qashar.
D. TARIKAT YANG BERKEMBANG DI
INDONESIA
Sebagai bentuk tasawuf yang melembaga, tarikat ini merupakan
kelanjutan dari pengikut-pengikut sufi yang terdahulu. Perubahan tasawuf ke
dalam tarikat sebagai lembaga dapat dilihat dari perseorangannya, yang kemudian
berkembang menjadi tarikat yang lengkap dengan simbol-simbol dan unsurnya
sebagaimana disebutkan di atas.
Tarikat Shuhrawardiyah (w. 1168 M.) misalnya dinisbahkan pada Diya
al-Din Abu Najib al-Suhrawardi. Qadariyah dinisbahkan pada Abdul Qadir Jaelani
(w.1166 H.) Rifaiyah dinisbahkan pada Ahmad Ibn al-Rifa'i (w. 1182), Jasafiyah
dinisbahkan pada Ahmad al-Jasafi (w.1166 M.) Sadziliyah dinisbahkan pada Abu
Madyan Shuhaib (w. 1258), Mauliyah dinisbahkan pada Jalaluddin Rumi (w.1273).
Dari sekian banyak aliran tarikat tersebut
terdapat sekurang-kurangnya tujuh aliran tarikat yang berkembang di Indonesia,
yaitu tarikat Qadariyah, Rifaiyah, Naqsyabandiyah, Samma-niyah, Khalwatiyah,
al-Hadad, dan tarikat Khalidiyah.[13]
Tarikat Qadiriyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir Jaelani
(1077-1166) dan ia sering pula disebut al-Jilli. Tarikat ini banyak tersebar di
dunia Timur, Tiongkok, sampai ke pulau Jawa. Pengaruh tarikat ini cukup banyak
meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada
acara-acara tertentu. Naskah asli manaqib ditulis dalam bahasa Arab. Berisi
riwayat hidup dan pengalaman sufi Abdul Qadir Jaelani sebanyak empat puluh
episode. Manaqib ini dibaca dengan tujuan agar mendapatkan berkah dengan sebab
keramatnya.[14]
Selanjutnya tarikat Rifa'iyah didirikan oleh Syaik Rifa'i. Nama lengkapnya
adalah Ahmad bin Ali bin Abbas. Meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H. bertepatan
dengan tanggal 23 September tahun 1106 M. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia
meninggal pada bulan Rajab tahun 512 H. bertepatan dengan bulan November tahun
1118 M. di Qaryah Hasan. Tarikat ini tanyak tersebar di daerah Aceh, Jawa,
Sumatera Barat, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya. Ciri tarikat ini adalah
penggunaan tabuhan rabana dalam wiridnya, yang diikuti dengan tarian dan
permainan debus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi
dengan zikir-zikir tertentu. Permainan debus ini berkembang pula
di daerah Sunda, khususnya Banten, Jawa Barat.[15]
Adapun tarikat Naqsyabandi didirikan oleh
Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari (727-791 H). la biasa disebut
Naqsyabandi diambil dari kata naqsyaband yang berarti lukisan, karena ia ahli
dalam memberikan lukisan kehidupan yang gaib-gaib.Tarikat ini banyak tersebar
di Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Ke daerah Sumatera Barat, tepatnya daerah
Mi-nangkabau, tarikat ini dibawa oleh Syaikh Ismail al-Khalidi al-Kurdi,
sehingga dikenal dengan sebutan Tarikat Naqsyaban-diah al-Khaiidiyah. Amalan tarikat ini tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.[16]
Selanjutnya tarikat Samaniyah didirikan oleh Syaikh Sa-man yang
meninggal dalam tahun 1720 di Madinah. Tarikat ini banyak tersebar luas di
Aceh, dan mempunyai pengaruh yang dalam di daerah ini, juga di Palembang dan
daerah lainnya di Sumatera. Di Jakarta tarikat ini juga sangat besar
pengaruh-nya, terutama di daerah pinggiran kota. Di daerah Palembang orang banyak yang membaca riwayat
Syaikh Saman sebagai tawassul untuk mendapatkan berkah. Ciri tarikat ini bisa
diketahui dari zikirnya dengan suara keras dan melengking, khususnya ketika
mengucapkan lafadz lailaha illa Allah. Juga terkenal dengan nama ratib saman yang hanya memper-gunakan
perkataan "hu", yang artinya Dia (Allah). Syaikh Saman ini
juga mengajarkan agar memperbanyak shalat dan zikir, kasih pada fakir miskin,
jangan mencintai dunia, menukar akal ba-syariyah dengan akal robaniyah, beriman
hanya kepada Allah dengan tulus ikhlas.[17]
Selanjutnya tarikat khalwatiyah didirikan
oleh Zahiruddin (w. 1397 M) di Khurasan dan merupakan cabang dari tarikat
Suhrawardi yang didirikan oleh Abdul Qadir Suhrawardi yang meninggal tahun 1167
M. Tarikat Khalwatiyah ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh Yusuf
Al-Khalwati al-Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Tarikat ini banyak pengikutnya di
Indonesia, dimungkinkan karena suluk dari tarikat ini sangat sederhana dalam
pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari, tingkat yang rendah ke tingkat yang
lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah, lawwamah,
mulhamah, muthmairmah, radhiyah, mardiyah dan nafsu kamilah.[18]
Adapun tarikat al-Haddad didirikan oleh
Sayyid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad. Beliau lahir di Tarim, sebuah
kota yang terletak di Hadramaut pada malam Senin, 5 Safar tahun 1044 H.16
Beliau pencipta ratib haddad dan dianggap sebagai salah seorang wali qutub dan arif
dalam ilmu tasawuf. Beliau juga banyak mengarang kitab-kitab dalam ilmu tasawuf,
di antaranya kitab yang berjudul Nashaihud Diniyah (Nasihat-nasihat
Agama), dan al'Mu awanah fi Suluk Thariq Akhirah (Panduan mencapai hidup
di akhirat). Tarikat Haddad banyak dikenal di Hadramaut, Indonesia, India,
Hijaz, Afrika Timur, dan lain-lain.[19]
Selanjutnya tarikat Khalidiyah adalah salah
satu cabang dari tarikat Naqsyabandiyah di Turki, yang berdiri pada abad XIX.
Pokok-pokok tarikat Khalidiyah dibangun oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Tarikat
ini berisi tentang adab dan zikir, tawassul dalam tarikat, adab suluk, tentang
saik dan maqamnya, tentang ribath dan beberapa fatwa pendek dari Syaikh
Sulaiman al-Zuhdi- al-Khalidi mengenai beberapa per-soalan yang diterima dari
bermacam-macam daerah. Tarikat
ini banyak berkembang di Indonesia dan mem-punyai Syaikh Khalifah dan Mursyid
yang diketahui dari beberapa surat yang berasal dari Banjarmasin dan
daerah-daerah lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa Sulaiman
az-Zuhdi Al-Khalidi.[20]
E. KODE ETIK TARIKAT
Dalam dunia Tarikat,
karakter muridnya sangat dipengaruhi oleh otoritas mursyid atau gurunya sehingga ia dapat
membentuk sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, dominasi seorang guru sangat
terasa. Oleh karena
itu Tarikat adalah sarana perjalanan menuju Allah maka harus ada pola hubungan
yang ketat antara guru dan murid untuk terciptanya suatu disiplin dalam
kehidupan bersama. Komitmen seorang murid tidak hanya cukup dengan belajar dan
beramal, tetapi juga diharuskan menjaga tata krama dan loyalitas kepada guru
agar ilmu yang didapat itu mendapat berkat. Dari sekian banyak aturan dan pola
hubungan dalam Tarikat, dapat dirumuskan dalam beberapa hal yang penting,
antara lain:[21]
1. Ketaatan dan
kepatuhan kepada guru, secara utuh, baik sewaktu berada dilingkungan Ribath
maupun tempat lain.
2. Menjaga dan
mengawal kehormatan guru, baik secara sedang berhadapan maupun berjauhan,
semasa guru masih hidup maupun sesudah meninggalnya.
3. Murid dilarang
membantah ajaran guru walaupun bertentangan dengan pendapatnya, apa ajaran guru
harus diikuti.
Selain itu
seorang murid diwajibkan mengikuti aturan-aturan dasar Tarikat, antara lain[22]
:
1.
Mempelajari syariat Islam sedaya
upaya, baik berkenaan dengan akidah, ibadah, maupunmuamalah.
2.
Tidak boleh mencari-cari keringanan
dalam beribadah
3.
Mengisi waktu dengan wirid dan do’a
sebanyak mungkin agar selalu ingat kepada Allah
4.
Mengendalikan hawa nafsu, karena
hawa nafsu dapat merusak kesucian jiwa
5.
Menghidari segala sesuatu yang
merangsang hawa nafsu.
1. Alim dan ahli
dalam memberikan tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu pengetahuan agama
yang pokok;
2. Mengenali
segala sifat-sifat kesempurnaan hati dan hal-hal yang berkaitan denganya;
3. Memiliki rasa
belas kasih terhadap kaum muslimin, terutama terhadap murid-muridnya;
4. Pandai penyimpan
rahasia murid-muridnya;
5. Tidak menyuruh
murid-muridnya kecuali terhadap sesuatu yang layak dikerjakan;
6. Tidak menyalah
gunakan amanat murid-muridnya;
7. Tidak terlalu
banyak bergaul dan bercengkrama dengan murid-muridnya;
8. Mengusahakan
agar segala ucapanya bersih dari pengaruh nafsu dan keinginan;
9. Lapang dada
dan ikhlas;
10. Memerintah berkhalwat kepada murid-murid yang
memperlihatkan kebesaran dan ketinggian hati karena terlalu dekat bergaul
denganya;
11. Memelihara
kehormatan diri dan kepercayaan murid-muridnya;
12. Memberikan
petunjuk untuk memperbaiki keadaan murid-muridnya;
13. Memperhatikan
dengan sungguh-sungguh terjadinya kebanggaan rohani yang timbul pada
murid-muridnya yang masih dalam proses pendidikan;
14. Melarang
murid-muridnya banyak berbicara dengan teman-temannya kecuali sangat penting;
15. Menyediakan
tempat berkhalwat;
16. Menjaga diri
agar murid-muridnya tidak melihat keadaanya dan sikap hidupnya yang dapat
mengurangi rasa hormat mereka;
17. Mencegah muridnya banyak makan;
18. Melarang
muridnya berhubungan degan syekh dari Tarikat lain jika akan membahayakan;
19. Melarang
muridnya sering berhubungan dengan para pejabat, yang dapat membangkitkan nafsu
duniawi;
20. Menggunakan
kata-kata lembut, menarik dan memikat di dalam khotbah-khotbahnya;
21. Segera
memenuhi undangan orang yang mengundang dengan penuh perhatian;
22. Bersikap
tenang dan sabar ketika duduk bersama murid-muridnya;
23. Memperlihatkan
akhlak yang mulia ketika murid-muridnya datang bertamu;
24. Memperhatikan
keadaan murid-muridnya dengan menanyakan muridnya yang hadir dalam pertemuan
mereka
F. TATA CARA PELAKSANAAN TARIKAT
Pengamal Tarikat
berkeyakinan, bahwa kualitas iman mengalami pasang surut seirama dengan
tinggi rendahnya dorongan hawa nafsu. Selama manusia berada pada situasi jiwa
yang labil, pasti ia tidak bisa terbebas dari kemungkinan-kemunkinan buruk
seperti, tidak merasa was-was karena ditimpa musibah. Untuk terbinanya jiwa
yang tenang dan selalu ingat kepada Allah, diperlukan adanya “Wirid” yakni amalan sunnat yang dilakukan secara
teratur dengan bacaan dan cara-cara tertentu.
Setiap Tarikat
memiliki wirid tertentu sesuai dengan tradisi masing-masing. Namun yang paling
banyak di gunakan adalah lafaz wirid istighfar, wirid shalawat, dan wirid zikir.
Adapun tata cara
pelaksanaan Tarikat antara lain:[24]
1. Zikir, yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati
serta menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol
bagi hati, ucapan dan perbu-atan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah
ditetap-kan Allah.
2.
Ratib, yaitu mengucap lafal la
ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
3.
Muzik, yaitu dalam membacakan
wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian
(instrumentalia) seperti memukul rabana.
4.
Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi
wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
5.
Bernafas, yaitu mengatur cara
bernafas pada waktu mela-kukan zikir yang tertentu.
Selain itu Mustafa Zahri mengatakan bahwa
untuk mencapai tujuan tarikat sebagaimana disebutkan di atas perlu mengadakan
latihan bathin, riadah dan mujahadah
(perjuangan kerohanian)[25].
G. WASHILAH DAN RABITHAH
Dalam istilah Tarikat
dikenal kata washilah atau tawashul yang berarti hubungan atau penghubung,
dalam hal ini dimaknai yang menghubungkan seseorang agar dapat bertemu dengan
Allah. Keyakinan adanya penghubung ini didasari oleh pemahaman analogis
terhadap peristiwa isra’ dan mi’raj nabi Muhammad SAW, menurut pemahaman mereka
nabi diperantarai oleh malaikat Jibril untuk bertemu dengan Allah, dan kata washilah yang termaktub di dalam al-Qur’an
surat al-Maidah ayat 35 diartikan sebagai perantara serta tabarruq atau mohon
restu. Misalnya seorang murid berdo’a : “ya Allah aku mohon padamu atas
berkah Rasulullah SAW dab restu guruku, karuniailah daku ilmu al-Ma’rifat”.
Sedangkan
rabithah diartikan sebagai ikatan atau pertalian. Secara fungsional
pengertiannya ada tiga macam, yaitu:1) rabithah wajib, 2) rabithah sunnat dan
3) rabithah mubah[26].
Rabitah
wajib meski dilakukan, jika tidak maka amalan yang dilakukan tidak sah, seperti
menghadap kiblat saat shalat. Dalam hal ini ka’bah berfungsi sebagai rabithah,
sedangkan hakekat yang disembah adalah Allah.
Suatu
amalan akan lebih sempurna dengan rabithah sunnat, contohnya shalat berjamaah adalah
sunnat, dalam tata tertibnya seorang makmum disunnatkan memperhatikan imamnya, imam
dan makmum sama sama menyembah Allah, dan fungsi imam disini adalah sebagai
rabithah.
Adapun
di dalam rabithah mubah bisa diambil contoh dalam hal seorang murid yang meniru
gerakan atau gaya gurunya dalam melaksanakan ritual “perjumpaan dengan Allah”.
H. SULUK DALAM TARIKAT
Secara bahasa makna suluk hampir sama dengan tarikat, yakni cara mendekatkan diri kepada tuhan.
Namun dalam pelaksanaannya dapat dibedakan dengan jelas, tarekat masih bersifat
konseptual, sedangkan suluk sudah bersifat teknis operasional. Karena itu secara
terminologi suluk diartikan latihan atau riadhah berjenjang dalam rangka tazkiyatun
nafs dalam waktu tertentu dalam bimbingan guru tarikat. Orang yang
mengikuti suluk dinamakan salik.
1.
Macam-macam suluk
Dalam pelaksanaan suluk, terdapat berbagai
macam metode yang dilakukan oleh para salik, antara lain :
a. Suluk zikir, dengan berzikir dan melaksanakan ibadah sunnat
lainnya dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan ibadah.
b. Suluk riadhah, berupa latihan fisik dan psikis untuk membangun
ketahanan jasmani dan rohani seperti mengurangi makan dan minum, mengurangi
masa tidur, sedikit bicara dan lain-lain.
c. Suluk penderitaan, yaitu suluk yyang dijalani melalui berbagai
rintangan dan kesulitan yang menuntut keuletan dan keberanian, kesabaran dan
ketabahan, seperti berkelana ke daerah atau tempat tertentu.
d. Suluk pengabdian, berupa pengabdian sesama manusia atau menumbuhkan
jiwa solidaritas dan cinta sesama makhluk tuhan[27].
Jika dilihat dari sisi yang lain, suluk
terbagi menjadi :
a. Suluk tazkiyatun nafs, yaitu penyucian jiwa dari berbagai sifat
dan kecenderungan yang jelek/ nafsul amarah dan nafsul lawamah.
b. Suluk qalbu (hati) suluk, yaitu pembebasan hati dari kecenderungan
pada kenikmatan kehidupan duniawi.
c. Suluk sirr, yaitu pengosongan pikiran dan persepsi yang dapat
melemahkan dan mengganggu ingatan kepada Allah
d. Suluk ruh, yaitu pencerahan ruh, mengisi jiwa dengan visi ilahiyah
melalui pendalaman rasa cinta kepada Allah SWT.
2.
Aktivitas dalam suluk
Dalam melaksanakan aktivitas suluk,
ada beberapa hal yang meski dijalani, antara lain:
a.
Tahkim, berupa peneguha tekat
melalui ikrar di hadaan mursyid sebagai pernyataan kesediaan secara sukarela
untuk mengikuti setiap kegiatan dalam suluk.
b.
Himmah, membangun optimisme dan
keteguhan mental spiritual agar mampu mengikuti seluruh kegiatan secara ikhlas
dan sungguh-sungguh tanpa keraguan
c.
Berbekal takwa, kesanggupan diri
meninggalkan setiap kemaksiatan serta mengerjakan kebajikan baik bersifat
lahiriyah maupun batiniah.
d.
Melaksanakan syari’at,
e.
Khalwat, semedi atau menyendiri
dalam saat-saat tertentu untuk mendapatkan suasana yang kondusif dalam
pengembaraan spiritual.
f.
Zikir
g.
Mentaati guru.
[3] Ibid
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Pers, 1978), h.89
[6] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1984),h.104
[7] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.264
[8] Harun Nasution, op.cit, h.89
[9] Abuddin Nata, op.cit, h.271-272
[10] Ibid
[11] Ensiklopedi, op cit, h. 67
[14] Ibid
[16] Ibid
[18] Ibid
[20] Ibid
[21] Rivay Siregar, Loc.cit
[22] Ibid
[24] Abuddin Natta, op.cit, h.276-277
[27] Ibid
.h. 282
Tidak ada komentar:
Posting Komentar