Rabu, 15 Mei 2013

Perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd



PENDAHULUAN

Menyaksikan perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan spektakuler, pencapaian peradaban Barat sekarang ini bisa digolongkan puncak peradaban umat manusia yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Ilmu pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk peradaban yang telah dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia. Sejak Revolusi Industri di Inggris abad ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun 1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Perkembangan peradaban itu terus melaju pesat meninggalkan peradaban bangsa Timur yang memang sejalan dengan misi mereka yaitu membuat atau menjadikan dunia Islam tidak mempunyai peran penting dalam mencoraki arus sejarah global. Menurut Dr. H. Saiful Anwar, MA, tejadinya kesenjangan corak dan laju perkembangan antara Barat dan Timur Islami itu timbul dari sebab-sebab yang komplek. Salah satunya seringnya dikaitkan dengan kisah pertarungan antara “agama” dan filsafat yang dimenangkan kubu pertama.[1]
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan para ilmuwan Barat terhadap doktrin-doktrin Gereja pada abad pertengahan , mereka akhirnya melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit, bahkan melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral dan iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih dahulu memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik.[2]
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para Filosof).[3] Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang sejarah hidupnya.[4] Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut al-Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam berpikirnya.[5]

PEMBAHASAN

A.    Al-Ghazali
a.      Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran.[6] Sebagaimana telah di nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Peta Bumi Intelektual Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali bertepatan dengan tahun meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris Abbasiyah yang sangat kenamaan. Perbedaan antara dua ulama besar ini adalah al-Mawardi dikenal sebagai yuris dan diplomat yang ingin mengembalikan wibawa politik Abbasiyah yang sudah berantakan  melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-Ghazali  dalam pengembaraan intelektualnya ternyata telah menukik jauh ke alam esoteris dengan kemampuan sufistik yang luar biasa.[7]
Pada masa kecilnya al-Ghazali belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu. Sepeninggal gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad al-Razakanya al-Thusi dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan akhirnya ia masuk ke sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam al-Haramaini (Imam dua kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah al-Ghazali menimba ilmu pengetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu logika.[8]
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan praktek tasawuf kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk.[9]
Dalam hidupnya al-Ghazali pernah mengalami suatu masa keragu-raguan. Dalam perjalanan hidupnya untuk mencari kebenaran al-Ghazali mempelajari teology ternyata dalam teology tersebut banyak terdapat pertentangan-pertentangan. Kemudian dipelajarinya filsafat ternyata tidak mempunyai argument yang kuat bahkan ada hal-hal yang bertentangan dengan agama. Akhirnya dia menemukan kebenaran yang dicarinya dalam tasawuf.[10] Sirajudin Zar menukilkan setelah al-Ghazali mengalami keragu-raguan tersebut, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, kemudian ia mengembara ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.[11]
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya, al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad, kemudian ia pulang ke Thus dan membangun sebuah madrasah Khan-kah (semacam tempat praktik suluk). Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam).[12] Semasa mendalami filsafat, ia menemukan banyak terdapat kelemahan di dalamnya bahkan menurut keyakinannya banyak ajaran filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam bahkan ajaran filsafat kelihatan meremehkan ajaran Islam. Maka tidak mengherankan jika dirinya terpanggil untuk membantah ulama melalui bukunya yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof). Sasaran kritik al-Ghazali dalam bukunya itu terutama ditujukan kepada filosof-filosof Islam al-Farabi dan Ibnu Sina. Pandangan kedua orang filosof tersebut menurut keyainannya banyak menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. Tujuan al-Ghazali dengan kritiknya itu adalah untuk mengembalikan kewajiban syari’at agama dan menyelamatkan aqidah ahlussunnah.[13]
Ia wafat pada hari senin, 14 Jumadil akhir 505 H / 18 Desember 1111 M, dimakamkan di Tabaran, Thus, dan kuburannya banyak diziarahi oleh orang-orang. Menurut laporan adiknya, Ahmad al-Ghazali, al-Ghazali wafat setelah berwudu shalat shubuh.[14]
Sosok al-Ghazali memiliki keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli fikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali banyak sekali meninggalkan warisan dalam bentuk karya ilmiah yang banyak memberikan kontribusi positif bagi pemikiran umat Islam seperti Ihya Ulum al-Din, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Munqiz min al-Dhalal, Mizan al-‘Amal.[15]
Pemaparan singkat di atas menggambarkan bahwa al-Ghazali telah menempuh jalan yang panjang dan berliku dalam proses mengisi intelektualnya, bahkan boleh dibilang semua disiplin ilmu disentuhnya dan memahami betul dengan keilmuannya terbukti dengan banyaknya warisan berupa karya ilmiah yang ia tinggalkan untuk umat, namun tiada gading yang tidak retak, nampaknya hal ini cukup proporsional untuk menggambarkan bahwa cukup banyak tokoh dan ilmuan yang memberikan komentar terhadapnya baik berupa pujian sampai ke tingkat kultus, dan kritik sampai ke tingkat alergi, baik pada zaman klasik maupun pada zaman modern. Pada sub bahasan bab ini akan dibahas salah seorang tokoh dan pemikirannya yang mengkritik al-Ghazali yaitu Ibnu Rusyd.

b.      Kritik Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan al-Ghazali ini adalah Aristoteles dan Plato[16] juga al-Farabi dan Ibn Sina karena kedua filosof Muslim ini dipandang al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-Falasifah (Kerancuan berpikir para filosof). Sebelumnya, ia mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang gurupun dalam kurun waktu dua tahun. Setelah berhasil dihayatinya dengan seksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya Maqasid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof). Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan bahwa ia benar-benar menguasai argument yang dipergunakan oleh para filosof.[17]
Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu:[18]
1.      Membatalkan pendapat mereka bahwa ala mini azali
2.      Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini kekal
3.      Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allahlah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakanNya.
4.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta
5.      Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan
6.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat
7.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi kepada ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia)
8.      Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyat (hakikat)
9.      Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidah berjism
10.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka tentang al-dahr (kekal dalam arti tidak berawal dan tidak berakhir)
11.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain mereka
12.  Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa allah hanya mengetahui zatnya
13.  Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
14.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauanNya
15.  Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet
16.  Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua juz’iyyat
17.  Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hokum alam
18.  Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh
19.  Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) sifat manusia
20.  Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tudak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam neraka hanya roh
Tiga dari 20 persoalan di atas, menurut al-Ghazali telah membuat filosof menjadi kafir, yaitu:
1.      Alam dan Semua Substansinya Qadim
Pada umumnya filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi makan (taqadum makany). Menurutnya para filosof Muslim mengemukakan alasan .
a.       Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim, maka terjadinya alam merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan menjadikan kadim kedua-duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang kadim sudah ada, sedangkan alam belum, karena merupakan kemungkinan semata, dan setelah itu alam diadakanNya, maka apa alasannya bahwa alam diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau dikatakan sebelumnya motifnya (murajjihnya) belum ada, mengapa baru ada sekarang, tidak sebelumnya? Jika dikatakan kekuasaan baru ada sekarang, tidak sebelumnya? Bagaimana terjadinya kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradath) dan baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu datang dari zatNya atau dari luar zatNya? Keduanya itu adalah mustahil bagi karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali menjawab sendiri argument filosof Muslim ini dengan mengemukakan, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradatNya yang kadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendakiNya. Iradat, menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradat, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.[19] Oleh karena itu jika Allah menetapkan ciptaanNya pada satu waktu dan tidak pada waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya sesuatu yang baru dari yang bersifat kadim karena iradat Allah bersifat mutlak dan tidak dihalangi oleh ruang dan waktu.[20]
b.      Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman  (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan bilangan satu dari dua. Jika demikian keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan yang lainnya baharu. Andaikan Allah mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat, ini berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok, justru itu mustahil zaman sebagai ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.s
Persoalan ini dijawab oleh al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua esensi yaitu Allah dan alam dan tidak perlu membayangkan adanya esensi yang ketiga, yaitu zaman. Zaman adanya setelah adanya alam karena zaman merupakan ukuran waktu yang terjadi di alam.[21] Menurut al-Ghazali, mengandaikan zaman sebelum zaman merupakan khayalan pikiran semata, yang diassumsikan benar-benar ada, padahal realitanya tidak sama sekali.[22]
c.       Alam sebelum ada merupakan sesuatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Menurut al-Ghazali, ala mini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini selama lamanya (kadim) tentu dia tidak baharu. Kenyataan ini jelas tidak bertentangan dengan kenyataan dan tidak cocok dengan teori kemungkinan.[23] Yang kadim menurut pandangan al-Ghazali hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah baharu (hadis). Implikasi dari pemahaman ini akan membawa pada:
-          Paham syirik, karena banyak yang kadim, banyaknya Tuhan
-          Paham atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta[24]
Menurut Sirajudin Zar, persoalan alam apakah diakadan dari ada atau dari ketiadaan dan prosesnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh karena itu, apa pun pendapat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan itu semua adalah hasil pemahaman seseorang terhadap ajaran al-Qur’an  yang disebut dengan hasil ijtihad dan itu bukan ajaran al-Qur’an yang tidak boleh berubah dan tidak boleh diubah.[25]
2.      Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam
Menurut para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal atau peristiwa yang terjadi di alam, kecuali hanya yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui (objeknya), yakni perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau sebaliknya berart Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya.[26]
Menurut al-Ghazali, argument seperti ini merupakan kesalahan fatal. Perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu merupakan idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
a.       Firman Allah dalam Qs. Yunus (10):61
$tBur Ü>â÷ètƒ `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§sŒ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽy9ø.r& žwÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ  
Artinya: “…… tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

b.      Firman Allah dalam Qs. Al-hujurat (49):16
…. ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ  
Artinya: “Katakanlah: "…dan  Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"

Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan filosof Muslim, bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah Maha Mengetahui. Perbedaan mereka hanya terletak pada persoalan bagaimana Allah megetahui yang juz’iyyah. Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli (umum). Hal ini terjadi disebabkan perbedaan mereka dalam menetapkan sifat dan zat Tuhan. Para filosof mengidentikkan dengan sifat dan zat, sementara al-Ghazali membedakan antara sifat dan zatnya. Pendapat filosof Muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali di atas. Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka bukan mengingkari Allah tentang mengetahui yang juz’iyyah.[27]

3.      Pembangkitan jasmani tidak ada
Menurut filosof Muslim yng akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan tetapi dia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstualitas al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. [28]
Para filosof Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula, dengan berpiahnya jasad dengan roh berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Sedangkan menurut al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu, kebangkitan jasmani secara explisit telah ditegaskan oleh syara’.[29]
Jadi pertentangan yang terjadi antara filosof Muslim dengan al-Ghazali hanya berkisar pada tataran interpretasi tentang dasar-dasar ajaran Islam yaitu pada bentuk kebangkitan di akhirat, bukan pertentangan pada dasar-dasar Islam itu sendiri, yakni kebangkitan di akhirat.[30]

B.     Ibn Rusyd
a.      Biografi
Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha? dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur.[31]
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah.[32] Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.[33]
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Menurut Sirajuddin Zar sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.[34] Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filosof atau Aristoteles.
Pengalaman pahit dan kegetiran hidup Ibnu Rusyd menurut Sirajudin tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati hal tersebut, ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M / 09 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.[35]

b.      Jawaban Terhadap Sanggahan Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Ad-Dlolal, Filosof terbagi menjadi 3 golongan yaitu golongan Dahriyyin (materealis), Thobiiyyin (Naturalis) Ilahiyyin ( ketuhanan).[36] Filosof ilahiyyin seperti Socrates, Plato dan Aristoteles telah menafikan menyangkal dua golongan filosof sebelumnya. Filsafat mereka dibawa dan dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina dan disebarluaskan di dunia Islam. Selanjutnya filsafat tersebut oleh al-Ghazali ada yang diterima yaitu yang menyengkut metematika, fisika, kimia, dan lain-lain, sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai bid’ah (heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana dia tulis dalam  kitab tahafutul falasifah, ia memandang para filosof sebagai Ahl–Al-Bid’ah, bahkan kafir. Kesalahan para filosof dalam bidang ketuhanan ada duapuluh poin, tiga diantaranya menyebabkan mereka menjadi kafir[37] yaitu; masalah qadimnya alam, masalah ketidak tahuan Asllah tentang hal-hal juz’iyyat, dan masalah kebangkitan manusia bukan secara jasmani, namun hanya ruhani.
1.      Masalah Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada. Pemikiran seperti inilah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini sudah ada sejak zaman azali Allah menciptakabn alam ini bukan dari tiada tapi dari ada.[38]
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah ada, masing-masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah mencipta sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi dari ada, Allah merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd menyandarkan pendapatnya ini dengan Qs Al-Anbiya: 30
أولم يرى الذين كفروا أن السموات والأرض كانتا رتقا ففتقناهما،وجعلنامن الماء كل شيئ حي، أفلايؤمنون
Artinya : Dan apakah orang oyang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu adalah suatu yang padu. Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup, maka mengapakah mereka tiada juga beriman.(Qs Al-Anbiya: 30)
Juga firman Allah dalam Qs. Hud: 7
وهو الذي خلق السموات والأرض في ستة أيام وكان عرشه على الماء ليبلوكم أيكم أحسن عملا,
Artinya : Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah arsyNya diatas air, agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.(Qs. Hud: 7)
Dan firman Allah dalam Qs. Fusshilat : 11
ثم استوى الى السماء وهي دخان فقال لها وللأرض ائتيا طوعا أو كرها ، قالتا أتينا طائعين
Artinya : Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu keduanya menurut perintahku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab : Kami datang dengan suka hati.(Qs. Fusshilat: 11)
Juga firman Allah dalam Qs. Al-Mu’minun: 12
ولقد خلقنا الإنسان من سلالة من طين
Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah (Qs. Al-Mu’minun: 12)
Dari ayat-ayat tadi Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa dalam mencipta Allah selalu menyebut sesuatu sebagai asal mula penciptaannya. Jadi sebelum alam ini diciptakan, sudah ada sesuatu yang lain, yang didalam ayat-ayat tadi terdapat kata ماء  (air) dan دخان  ( asap ). Dengan demikian kata Ibnu Rusyd, pendapat filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan pendapat Al-Ghazali dan para teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat Al-Qur’an.

2.      Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juziyyat
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui yang parsial di alam, padahal dalam Qs. Yunus: 6
وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة في الأرض ولا في السماء ولا أصغر من ذلك ولا أكبر إلا في كتاب مبين.
Artinya : Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata.

Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan demikian.  Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali.  Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[39] Demikian juga menurut Ibn Rusyd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i ( parsial) dan kullli ( umum), Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indera. Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal.[40] Allah bersifat immateri (rohani), tentu saja pada dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli.[41] Dari itu jelaslah perbedaan antara Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-ghazali terkesan menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada dasarnya mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah mengetahuinya.
3.      Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rhani, sebagimana firman Allah dalam Qs.Yasin: 52
وضرب لنا مثلا ونسي خلقه قال من يحي العظام وهي رميم قل يحييها الذي أنشأها أول مرة.  وهو بكل خلق عليم.
Artinya : Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat, menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh ?. katakanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengetahui tentang segala makhluq.

Menurut Ibn Rusyd, sanggahan Al-Ghazali terhadap filosof muslim, tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian.[42] Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani, dan para teolog mengatakan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang jelas kehidupan di akhirat  tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Hal ini sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas didalam pikiran” dan ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan dijumpai di akhirat  hal-hal keduniawian kecuali nama saja”. Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.[43]
Menurut Ibn Rusyd sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku tahafutul falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam bukunya mengenai tasawwuf dia mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada nanti hanya kebangkitan rohani.[44] Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar tentang kebangkitan di akhirat , bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dengan filosof muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara satu orang muslim dengan otak orang muslimlain dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat , hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa kepada kekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benar dalam berijtihad dibidangnya ia mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia menadapat satu pahala.[45]
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali terhadap filosof Muslim dalam 3 butir masalah diatas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereaka keliru namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran mereka  tidak ada ijma’ ulama secara pasti.[46]
c.       Averroisme
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan peradaban Barat (Eropa) seja abad ke-12 tidak terlepas dari sumbangan peradaban Arab Islam yang dikembangkan oleh filosof dan saintis Muslim. Ketika Barat berada dalam kegelapan pada aad pertengahan, dunia Islam telah mencapai puncak peradaban yang gemilang. Setelah berinteraksi langsung dengan dunia Islam barulah Barat mengalami kemajuan. Daerah yang paling berpengaruh langsung dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam adalah Spanyol dan Sicilia[47]
Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam kedua Barat terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spayol – Sicilia – Syria. Para guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta tentara salib adalah pembawa–pembawa utama pengetahuan Islam ke dunia Barat. Selain itu, jalur yang tidak kalah penting dalam proses transformasi ini adalah jalur pendidikan. Sejak abad ke-10 telah banyak pemuda-pemuda eropa menimba ilmu pengetahuan di universitas-universitas Islam di kota Seville, Cordova, Toledo, Granada dan Valencia. Selain itu orang-orang mozarabes (orang-orang Spanyol yang mempunyai kebiasaan Arab-Islam dalam kesehariannya) juga mempunyai andil sebagai transmitter dalam alih kebudayaan Islam ke dunia Barat. Mereka banyak menerjemahkan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Islam yang berbahasa Arab ke bahasa latin.[48] Termasuk juga karya-karya Ibn Rusyd.
Menurut Ibrahim Madkur, sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin Zar, ada beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran filsafat Ibn Rusyd.[49]
a.       Frederick II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak tertarik pada komentar-komentar Ibn Rusyd terhadap Aristoteles. Komentar tersebut diterjemahkan, kemudian tersebar luar di Eropa
b.      Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibn Rusyd, berusaha menerjemahkan karya Ibn Rusyd dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin. Kemudian, mereka bertindak sebagai perantara filsafat Ibn Rusyd dan filsaat Barat.
c.       Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat Aristoteles, sebaiknya membaca filsafat Ibn Rusyd. Oleh karena itu upaya menerjemahkan karya-karya Ibn Rusyd pada abad ke-16 dimaksudkan untuk lebih memahami filsafat Aristoteles melalui Ibn Rusyd.
Seperti telah diungkapkan di atas bahwa pemikiran Ibn Rusyd masuk ke dunia Barat melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan itu dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan oleh orang-orang Yahudi. Di akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I melakukan penerjemahan secara besar-besaran di Toledo. Penerjemah lain adalah Michel Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman, dan Clunimus dari Cluminus (Yahudi). Terjemah yang mereka hasilkan tersebut diterbitkan beberapa kali di Venesia, Napoli, blogna, Paris, lyons, Strasbourg, dan Jenewa. Buku-buku tersebut juga menjadi pelajaran wajib di pelbagai perguruan tinggi Eropa[50]
Dengan demikian pengaruh pemikiran Ibn Rusyd ini tidak secara langsung, melainkan melalui para murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke Spanyol dan mereka inilah yang dikenal dengan Averroisme. Gerakan ini berlangsung selama 400 tahun, yaitu tahun 1250 – 1650 M. Secara historis, Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran-penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rusyd oleh pemikir Barat-Latin. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai penghinaan (pejorative) terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (m. 1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai seorang Averrois dan diikuti oleh Urban dari Bologna serta Paul dari Venesia, para pendukung Ibn Rusyd baru berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[51]
Sebelum averroisme muncul, Eropa kosong dengan ilmu pengetahuan, berpikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sember kebenaran pada saat itu hanyalah agama Kristen (gerejawan) sehingga apa saja yang tidak sesuai dengan dogma Kristen dianggap salah. Kendatipun Averroisme ini dibangsakan kepada filosof Muslim, Ibn Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal ini dilatarbelakangi oleh agama yang berbeda. Dalam filsafat Ibn Rusyd yang dilator belakangi oleh ajaran Islam yang bersifat rasional, sangat sedikit ajaran yang bersifat dogmatis (qath’i al-dalalah) sedangkan yang terbanyak tersebut adalah yang bersifat zanni al dalalah. Berbeda dengan Islam, Kristen semua ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak dapat didamaikan antara filsafat dengan ajaran agama.[52]
Dengan demikian Averroisme mengalami kesulitan ketika mengembangkan pemikiran rasional Ibn Rusyd. Pemikiran filsafat yang dibawa oleh Ibn Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran. Kebenaran yang dibawa filsafat tidak akan bertentangan dengan kebenaran agama, jika dirasa ada pertentangan, diambil arti metafora (takwil).
Oleh karena itu kebenaran ganda (double truth), kebenaran yang dibawa agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar, yang dikembangkan oleh Averroisme bukanlah berasal dari Ibn Rusyd. Bahkan ada Averroisme, Siger de Brabant (1235-1285), pemikiran filsafat mungkin bertentangan dengan kebenaran agama, tetapi keduanya harus diterima. Ajaran dan pendapat ini menurut Nurchalish Madjid, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar, merupakan suatu kemunafikan.[53] Penyimpangan yang lebih ekstrem dari Averroisme, menurut Harun Nasution, sebagaimana juga dukutip Sirajuddin Zar, adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa filsafat mengandung kebenaran, sedangkan agama membawa hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu tuduhan pemuka gereja terhadap Ibn Rusyd seorang atheis tidak tepat dan salah alamat yang semestinya dilontarkan kepada Averroisme.[54]
Sebenarnya hal di atas tidaklah dapat disalahkan Averroisme secara keselurah. Pengalaman meunjukkan bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai kebenaran agama ternyata tidak tebukti kebenarannya menurut akal. Kreatifitas akal telah terpasung oleh agama Kristen. Akibatnya tidak hanya sampai di situ, paham Averroisme telah melahirkan free thinker dikalangan ilmuwan Eropa. Dengan kata lain para sarjana di Eropa, pada umumnya telah meninggalkan ajaran agama (atheis) karena agama tidak mampu menyaingi kebenaran yang dihasilkan filsafat dan sains. Namun ajaran ini menurut Philip K. Hitti, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar bukan bersal dari Ibn Ruyd.[55]
Gerakan Averroisme ini mendapat tantangan keras dari pihak gereja. Cara yang paling tragis ialah dengan cara ancaman bunuh dan penjara. Peristiwa ini disebut dengan inkuisi. Akibatnya, banyak dari ilmuwan yang menjadi korban seperti Copernicus, Galilei Galileo, Grodarno Bruno, dan lain-lain. Pada akhirnya gerakan ini tidak terbendung oleh pihak gereja. Pemikiran Averroisme ini jugalah yang mendorong terjadinya Renaisance di Eropa, sehingga tidak terlalu berlebihan jika Lebon mengatakan “Orang Arablah yang menyebabkan Eropa mempunyai peradaban karena mereka adalah imam Eropa selama enam abad.[56]
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa orang-orang Eropa dapat mengenal filsafat dan sains adalah atas jasa orag Islam, dan hal ini merupakan utang budi Barat terhadap umat Islam. Namun, perkembangan filsafat dan sains di Eropa berbeda dengan Islam yakni lepas kendali dari bimbingan agama, yang akhirnya dari sekuler menjadi atheis.[57]


PENUTUP

A.    Kesimpulan
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa ada tiga lahan perdebatan yang ditudingkan al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang menyebabkan mereka menjadi kafir yaitu masalah kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah dan masalah pembangkitan jasmani. Tiga persoalan menjadi lapangan akal karena tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang menegaskannya. Pendapat al-Ghazali ini, sebagi seorang teolog Muslim, tentu saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, artinya Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya, sehingga tidak mengherankan jika al-Ghazali berpendapat demikian.
Menurut Ibn Rusyd tuduhan yang dilontarkan oleh al-ghazali terhadap filosof Muslim dalam tiga butir persoalan diatas tidak pada tempatnya. Kalaupun mereka salah, maka kesalahan mereka hanya pada lapangan ijtihadi.
Gagasan Averroisme yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd dan berkembang di Barat sejak abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya bertumpu pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para eksponen Averroisme dari ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya.


[1] Saepul Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), cet. I. h. 14
[2] A. Syafi’I Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), cet. II., h. 20
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 159
[4] Saeful Anwar, op.cit., h. 16
[5] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averoisme: Sebuah Pemberontakan Terhadap Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004)., cet. I., h. 46
[6] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 155
[7] Ahmad Syafi’i Ma’arif, op.cit., h. 54
[8] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 156
[9] Ibid, h. 156 - 157
[10] Harun Nasution, Filsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)., cet. I., h., 35 - 37
[11] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 157
[12] Ibid., h. 158
[13] Fachri Syamsudin, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2005)., cet. I., h. 74 - 75
[14] Saeful Anwar, op.cit., h. 68
[15] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 159
[16] Dalam buku Sirajuddin Zar ditulis selain Aristoteles dan Plato, tetapi setelah dicoba merujuk kesumber lain ternyata yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan ini adalah Aristoteles dan Plato
[17] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 160. Baca juga al-Ghazali, al-Munqiz Min al-Dlalal, ter. Abdullah bin Nuh, (Jakarta: Tinta Mas, 1996), h. 14-24
[18] Ibid., h. 162-163
[19] Ibid, h. 165
[20] Ibid
[21] Ibid, h. 166
[22] Ibid
[23] Ibid
[24]Ibid, h. 168. Baca juga Harun Nasution, Makalah Simposium tentang al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, Jakarta: 26 Januari 1985, h. 4
[25] Ibid.
[26] Fachri Syamsudin, op.cit. h. 83
[27] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 169-171
[28] Ibid., h. 171
[29] Ibid., h. 172-173
[30] Ibid., h. 173
[31] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter (terj), Khalifurrahman Fath, judul asli Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), cet, ke-1, h. 29
[32] Ibid, h. 32
[33] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), cet, ke-3, h. 37
[34] Sirajuddin Zar, op.cit., h. 221
[35] Ibid., h. 160 Baca juga Al-Ghazali, Al-Munqidz, h. 14-24
[36] Sirajuddin Zar, opcit, h. 161. Baca juga Al-Ghazali, Tahafutul Falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo:Darul Mara’arif, 1962), h. 86-87
[37] Ibid. h. 161-163
[38] Ibid, h. 226
[39] Ibid, h. 118 
[40] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 229. Baca juga Al-Ghazali, Tahafutul Falasifah, tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo:Darul Mara’arif, 1962), h. 86-87
[41] Sirajuddin Zar, op.cit, h.. 230. Baca juga Al-Ghazali, Tahafutul, h. 702-703
[42] Ibid.
[43] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 47.
[44] Ibnu Rusyd, Tahafut, op.cit., h. 873-874.
[45] Ibid, h. 231 dan Ibn Rusyd, Tahafut, Ibid.
[46] Ibid, 232 dan Ibn Rusyd, Tahafut, Ibid.
[47] Muhammad Iqbal, op.cit., h. 80
[48] Ibid., h. 80-81
[49] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 255. Baca juga Ibrahim Madkur, Filsafat dan Renaisans Eropa, dalam Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Kebudayaan, ter. Ahmad Tafsir, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 136-137
[50] Ibid, h. 255-256
[51] Muhammad Iqbal, h. 95-96
[52] Sirajuddin Zar, op.cit, h. 256-257
[53] Ibid, h. 257
[54] Ibid
[55] Ibid., h. 258
[56] Ibid.
[57] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar