A.
Pendahuluan
Allah adalah pencipta alam semesta ini, termasuk juga semua yang ada di dalamnya, mulai dari
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Allah bersifat Mahakuasa, maha mengatur dan
mempunyai kehendak yang bersifat mutlaq. Maka timbul pertanyaan, sampai
dimanakah manusia sebagai ciptaan Allah, apakah manusia bergantung 100% kepada
taqdir Allah Swt dalam menjalani hidupnya? ataukah manusia mempunyai
kemerdekaan dalam mengatur hidupnya tanpa bergantung pada taqdir?
Iman kepada
taqdir merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap muslim. Iman kepada taqdir
adalah bagian dari rukun iman, dan juga merupakan salah satu tanda iman. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah Saw.
ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman, Beliau menjawab bahwa salah satu
tanda iman adalah percaya pada taqdir baik dan taqdir buruk yang telah ditentukan
Allah Ta'ala. Pemahaman seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama
salaf. Orang
yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan
tauhid kepada Allah Swt. dan berjalan di atas petunjuk Rabb-nya.
Dalam permasalahan taqdir (qadha dah
qadar) ini ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan)
dan saling bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Di antara kelompok tersebut adalah Qadariyah dan
Jabariyah. Pemikiran qadariyah ini bercorak liberal, sedangkan jabariyah
mempunyai corak pemikiran tradisional.
Munculnya corak pemikiran yang beragam
dalam Islam disebabkan karena semakin luasnya wilayah Islam ke Timur dan ke
Barat. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan dan pemikiran dari
ajaran-ajaran lain, terutama filsafat Yunani. Seperti diketahui wilayah-wilayah
yang bergabung dengan Islam, terutama di bagian Barat adalah wilayah-wilayah
yang pernah diduduki oleh bangsa Romawi(Yunani).
B. Qadariyah
1. Pengertian dan asal usul
qadariyah
Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arab qadara yang berarti
kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan kehendaknya sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan Allah.[1]
Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.[2]
Tidak ada keterangan pasti kapan paham ini muncul dalam sejarah
perkembangan teologi Islam. Tetapi menurut keterangan para ahli teologi Islam,
paham qadariyah pertama kali dibawa oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani yang
berasal dari Bashrah dan temannya bernama Ghailan al-Dimasyqi. Menurut
Ibnu Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Iraq.[3] Dan menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang
tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki kawasan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman
Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Ma’bad mati terbunuh dalam
tahun 80 H.[4] Ia mati dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang gubernur
dari Bani Umayyah yang terkenal kejam dan berdarah
dingin.
Setelah kematian Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan paham qadariyah di
Damaskus, tetapi ini tidak berjalan lancar karena mendapat tantangan dari
khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz. Baru setelah kematian ‘Umar ia melanjutkan
kegiatannya yang sempat terhenti pada masa itu. Tapi akhirnya ia mati dihukum bunuh
oleh Hisyam ‘Abd al-Malik.Sebelum dilaksanakan hukuman tersebut diadakanlah
debat antara Ghailan dan Awza’i yang langsung dihadiri oleh Hisyam mengenai
paham yang dibawa Ghailan[5].
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap
perbuatan hambaNya dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan
terhadap makhlukNya.Mereka berpendapat bahwa tidak ada takdir, mereka
mengingkari iman dengan qadha dan qadar. Mereka juga mengatakan bahwa Allah
tidak menentukan dan tidak mengetahui sebuah perkara sebelum terjadi, bahkan Allah
baru mengetahui sebuah perkara setelah terjadi. Dalam
kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan
pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua
aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar
lebih luas di kupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga dijadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, sebahagian
orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua
aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[6]
2. Paham dan doktrin qadariyah
Hampir
semua paham-paham qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu
al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah
diantaranya adalah:
1. Meletakkan posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah
laku dan semua perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia
mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah
Swt. Jadi manusia mendapatkan surga dan neraka karena kehendak mereka sendiri
bukan karena taqdir. Paham ini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan
qadariyah.[7]
2. Kaum qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah
tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut
mereka Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan
zatNya, serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut.
Mereka juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama
dengan mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.[8]
3. Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak
zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah,[9]
seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan
dan tingkah laku manusia.
4. Kaum qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu
menjadi baik karena diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena
dilarangnya. Bahkan perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan
segala sesuatu, kalau sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu
sebaliknya.[10]
Sebenarnya dalam golongan qadariyah
sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman seputar masalah taqdir. Ada
golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan berasal dari Allah Ta’ala,
sedangkan keburukan berasal dari manusia itu sendiri. Pemahaman ini sama dengan
menganggap ada dua pencipta. Ada yang berpendapat bahwa semua kebaikan dan
keburukan penciptanya adalah pelakunya sendiri. Sebagian golngan qadariyah
lainnya menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan makhluk, lalu Allah
menciptakan kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai kemauannya
tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti setelah Allah
menciptakan alam semesta Allah menganggur, hanya menonton kejadian yang terjadi
di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman seperti
inilah muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan dari
Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah majusi ummat ini. Jika
mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati jangan kalian saksikan
jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi
'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524)
berkata, "Akan tetapi penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata.
Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya
dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini
adanya banyak pencipta."
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha,
disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan :
القدرية خصماء الله عز وجل في الأرض
"Qadariyyah adalah musuh Allah di
dunia"
Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah,
karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula
perbuatan manusia terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.
Dalam kitab
As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd al-Jabbar,
katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat saya
tentang kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila tidak
mau, mereka harus dihukum mati".
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti kelompok
Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin hendaklah
berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat seperti
mereka. Allah yang Maha Suci, tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus oleh
sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki keinginan dan
kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan Allah.
Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti
kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
3. Dalil-dalil yang menjadi dasar paham Qadariyah
Ada beberapa dalil al-Quran yang dijadikan
landasan untuk mendukung paham-paham Qadariyah. Dalil-dalil tersebut
diantaranya:
QS al-Kahfi ayat 18
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§
( `yJsù
uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur
uä!$x© öàÿõ3uù=sù
4
Artinya: dan Katakanlah!! Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu, Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
1) QS Fussilat ayat 40
(#qè=uHùå$# $tB
ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇÍÉÈ
Artinya: perbuatlah
apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2) QS Ali Imran ayat 164
!$£Js9urr&
Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ÅÁB
ôs%
Läêö6|¹r& $pkön=÷VÏiB
÷Läêù=è% 4¯Tr&
#x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã
Èe@ä. &äóÓx«
ÖÏs%
ÇÊÏÎÈ
Artinya:
dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
3)
QS al-Ra’d ayat 11
cÎ)
©!$#
w çÉitóã
$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym
(#rçÉitóã $tB
öNÍkŦàÿRr'Î/
3
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan mereka sendiri.
C.
Jabariyah
1. Pengertian dan asal-usul Jabariyah
Nama
jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam istilah
Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination[11].
Dalam kontek pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa manusia makhluk
yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut
Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia
tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang
menentukan segala-galanya.
Paham
Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari
Khurasan. Jahm Ibn Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani
Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati di
tahun 131 H[12].
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di kalangan
Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari golongan
Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini adalah lawan
ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
2. Para Pemuka
Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut al-Syahrastani, Jabariyah dapat
dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara
tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim adalah Jahm Ibn Safwan dan Ja’ad Ibn Dirham.
Tokoh dari kalangan moderat nama al-Hasan Ibn Muhammad al-Najjar. Dari
tokoh-tokoh ini lahir beberapa kelompok dalam aliran Jabariyah, diantaranya
adalah[13]:
1) Kelompok Jahmiyah
Mereka adalah para
pengikut Jahm Ibn Safwan, yang kebid’ahan dan ajarannya muncul di Khurasan.
Kelompok ini termasuk dalam kelompok ekstrim Jabariyah.Pada akhir kekuasaan
Bani Umayyah, Jahm akhirnya dibunuh oleh Salam Ibn Ahwaz al-Mazini di kota Moru,
salah satu kota paling terkenal di Khurasan. Diantara doktrin kelompok Jahmiyah
ini adalah:
a) Allah tidak memiliki
sifat-sifat azaly, karena hal ini akan menjadikan Allah serupa dengan makhluk. Pendapat ini sama
dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah.
b) Bid’ah jabr. yaitu pernyataan
bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan dan daya upaya sama sekali, bahkan
semua kehendaknya muncul karena dipaksa oleh Allah Swt.
c) Bid’ah irja’, yaitu bahwa
iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang siapa yang inkar di lisan maka hal
tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap
karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam
keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan. [14]
d) Mereka berpendapat bahwa
surga dan neraka, serta penduduk yang ada di dalamnya tidak kekal.
e) Kaum Jahmiyah juga mengatakan
bahwa al_Quran adalah makhluk Allah. Pendapat itu merupakan dampak dari tidak
mengakui sifat Allah. Karena Allah tidak bersifat kalam , maka al-Quran
itu bukanlah kalamullah yang qadim.
2) Kelompok Najjariyah
Mereka adalah pengikut
Husein Ibn Muhammad an-Najjar. Kelompok ini termasuk kelompok moderat. Najjariyyah
juga terbagi menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan
Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda dalam prinsip-prinsip pokok dalam
aliran Jabariyah[15].
Diantara doktrin-doktrin Najjariyah adalah:
a) Mereka berpendapat bahwa
Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik dan buruknya,
tetapi manusia mempunyai andil atau peran dalam perwujudan perbuatan-perbuatan
itu.[16]
b)
Tuhan tidak dapat(mustahil) dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat
saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Allah.
3)
Kelompok Dhirariyah
Aliran al-Dhirariyah juga merupakan salah satu
daripada aliran al-Jabariyyah yang dipelopori oleh Dirar bin ‘Amru al-Kufi di
akhir pemerintahan Bani Umayyah. Pemikiran yang dibawa oleh Dhirar ini juga
dikatakan aliran yang moderat sebagaimana aliran al-Najjariyah mengenai konsep kasb.
Menurut pehaman ini Tuhan dan manusia bekerjasama dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa melakukan
perbuatan mereka, tidak hanya merupakan wayang
yang digerakkan dalang. Walaupun pada
hakikatnya setiap perbuatan manusia itu adalah diciptakan oleh Allah Swt.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga
berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis
ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[17]
3. Dalil-dalil yang menjadi dasar paham Jabariyah
Paham-paham yang
dikembangkan Jabariyah tetap didasarkan kepada ayat-ayat al-Quran. Ayat-ayat
tersebut diantaranya adalah:
1) QS al-An’am ayat 112
$¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br&
uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur
öNèdusYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ
Artinya:
niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
2) QS al-Shaffat ayat 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya:
Padahal Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
3) QS al-Hadid ayat 22
!$tB
z>$|¹r&
`ÏB 7pt6ÅÁB
Îû ÇÚöF{$# wur þÎû öNä3Å¡àÿRr& wÎ) Îû
5=»tGÅ2
`ÏiB
È@ö6s% br&
!$ydr&uö9¯R 4 ¨bÎ) Ï9ºs n?tã «!$# ×Å¡o ÇËËÈ
Artinya: tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
4) QS al-Anfal ayat 17
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur
©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur
©!$# 4tGu
4
Artinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
5)
QS
al-Insan ayat 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br&
uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
Artinya: dan kamu tidak mampu (menempuh
jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Setelah melihat ayat-ayat yang menjadi sandaran bagi
kaum Qadariyah dan Jabariyah di atas, maka tidak mengherankan kalau dua paham
ini masih tetap berkembang dalam kalangan umat Islam, walaupun pelopor-pelopor
paham ini sudah tiada. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum
Mu’tazilah, sedangkan paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah.[18]
D. Penutup
Berdasarkan
uraian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah
terhadap perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat
ketentuan terhadap makhlukNya.
2.
Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat
dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak
punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan
segala-galanya.
3.
Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani,
dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun iman.
4.
Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan
sabda Rasulullahi Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya
yang bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang harus kita terima
dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal dalam agama ini
bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Mudah-mudahan makalah yang sederhana
ini bisa bermanfaat kita, terutama dalam memahami paham-paham qadariyah dan
jabariyah. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika penulisan, dll. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca.
Penulis mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan.
Terima kasih atas kerjasama dan saran dari pembaca semua. Wassalam.
[1] Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 43
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), h. 33
[3] Ahmad Amin, Fajr Islam, (Kairo: al-Nahdhah,1965), h. 255
[4] Ibid.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit., h. 34
[6] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal ,(Beirut: Dar
al-Kutub Ilmiah), h. 38
[7] Alkhendra, op.cit., h. 44
[8] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h.38
[9] Alkhendra, loc cit.
[10] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 47
[11] Harun Nasution, op.cit., h, 33
[12] Ibid, h. 35
[13]Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h. 35
[14] Ibid, h. 74
[15] Ibid, h. 75
[16] Harun Nasution, op.cit., h. 37
[17] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h.78
[18] Harun Nasution, op. cit., h. 39
nice, makasih byk mas :)
BalasHapus