A. Pendahuluan
Sejarah pemikiran Islam menunjukkan, bahwa dalam bidang
tionlogi Islam terjadi berbagai pemahaman dan pemikiran yang berkembang dan
kemudian menjadi satu aliran tertentu dan bervariasi. Berkaitan dengan banyaknya
pemahaman munjullah faham yang bernama Al- Asy’ariah. Yang kemunculannya
setelah tidak merasa sesuai lagi dengan pemaham Mu,tazilah.
Maka untuk mengetahui bagaimana lahirnya aliran ini,
bagaimana pemikiran mereka mengenai akal dan wahyu, bagaimana pendapat mereka
masalah sifat Tuhan, iman dan kufur, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia,
serta perbedaannya dengan tokah-tokoh selanjutnya, (al-Baqillani, al-Juwaini
dan al-Gazali). Untuk itu maka akan pemakalah tuankan permasalahannya didalam
sebuah makalah dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran dalam Islam dengan pokok pembahasan
Al-Asy’ari dan Al-Asy’Ariah. Diharapkan agar pembahasan ini dapat menambah
pengetahuan kita terutama pengetahuan penulis sendiri. Dan pemakalah juga
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk pemakalah.
B. Sejarah dan
Latar Belakan Lahirnya Al-Asy’ariah
Asy’ariyah yang
dinisbahkan kepada nama Abu Al- Hasan Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishaq Ibn
Salim Ibn Isma’il Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn
Abdullah Abi Al- Asy’ari. Beliau
dilahirkan di basrah pada tahun 260 H/ 873 M dan wafat dibagdat pada tahun 324
H/ 935 M.
Kalau dilihat dari segi silsilah keturunannya diatas
maka ternyata Abu Hasan Al-Asy’ari adalah keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulallah SAW yang pada waktu terjadi persengketaan antara
pihak pemerintahan Ali dengan pihak Mu’wiyah dialah yang menjadi utusan tahkim
dari pihak Ali bin Abi Thalib.[1]
Pada mulanya Abu Hasan adalah murid Jubba’i, dia merupakan salah seorang
tokoh terkemuka dikalangan golongan Mu’tazilah. Dikarnakan Abu Hasan mempunyai kemampuan
berdebat yang tangguh, maka dia sering diberi tugas oleh Jubba’i untuk terjung
kegelanggang perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah. Ayah Asy’ari orang
yang paham Sunnah dan ahli Hadist. Ia wafat sewaktu Asy’ari masih kecil.
Sebelum wafat ia berwasiat kepada salah seorang sahabatnya yang bernama
Zakariyah bin yahya as- Saji agar mendidik Asy’ari. Setelah ayah Asy’ari
meningal ibu Asy’ari menikah lagi dengan tokoh Mu’tazilah yaitu Abu Ali al-
Jubb’i, ayah kandung Abu Hasim al- Jubb’i. Pada usia beliau mencapai 40 tahun,
Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan menyusun suatu tiologi Islam yang
bertentangan dengan Mu’tazilah. Karena aliran Mu’tazilah yang selalu mengagungkan
ketinggian akal dari pada naqal untuk memahami akidah Islam, karena hal
tersebut sulit dipahami oleh orang yang pemikirannya masih tradisional,
akhirnya ia meninggalkan golongan Mu,tazilah. Sedangkan pemikiran Asy,ari
berdasar kepada nash naqal, mendahulukan
pungsi naqal dari pada akal.
Aliran Asy’ariah muncul pada sekitar tahun 916 M, yakni
menjelang gurunya meninggal.[2]
Maka dengan demikian dapat penulis simpulkan, bahwa Asy,ariyah pada awalnya
adalah pengikut muktazilah yang bercorak pemahamannya lebih mendahulukan akial
dari pada naqal. Dengan tidak sepaham lagi dengan pemahaman mu’tazilah maka dia
membentuk satu aliran yang berpegang kepada Al-Qur’an dan Al- Hadist yang mudah
dapat dipahami.
Kasus berobahnya Asy’ari setelah ia begitu lama menjadadi
pemuka Mu’tazilah, ternyata menarik perhatian. Para sarjana tidak bisa
menunjukkan kesepakatan apa penyebabnya, kendati ada golongan Asy’ariyah yang
mengutip kisah yang berkenaan dengan keluarnya Asy’ari dari Mu’tazilah yaitu:
Kisah tentang pengalaman mimpi yang dialami oleh
Asy’ari. Dalam mimpinya itu Nabi Muhammad SAW berkata kepadanya bahwa golongan
Mu’tazilah salah dan yang benar adalah pendirian yang ada dalam Al-Qur’an dan
Sunnah.
Kisah yang menyatakan adanya ketidak puasan Asy’ari
dalam kasus dialoknya dengan Jubba’i tentang masalah kedudukan mukmin, kafir,
dan anak kecil diakhirat.[3]
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat penulis
simpulkan bahwa mutefasi yang mendorong keluarnya Asy’ari dari Mu’tazilah ada
dua hal yaitu. Pertama. Karena tidak merasa puas terhadap konsep aliran yang
dipakai oleh Mu’tazilah. Kedua, melihat perpecahan dikalangan kaum muslimin
yang akan mengakibatkan lemahnya mereka, jika tidak cepat diakhiri, al- Asy’ari
sangat khawatir apabila Al-Qur’an dan Hadist Nabi menjadi korban paham-paham
Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan. Ketidak benaran itu
didasarkan atas pemujaan akal.
C.
Pemikiran-Pemikiran Al-Asy’ariah
1. Akal dan
Wahyu
Manusia merupakan makhluk Alla SWT
yang paling terbaik dibandingkan dengan makhluk
Allah yang lain, yang membuat manusia merupakaan mahluk yang paling baik
diantara makhluk-makhluk ciptaannya adalah Allah SWT mempasilitaskan kepada
manusia berupa akal. Dengan kelebihan akal yang diberikan kepada manusia,
manusia dituntut untuk memikirkan sesuatu ciptaan Allah SWT. Namun dengan
kelebihan akal yang diberikan, tidak dipergunakan kepada sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah, maka manusia bisa menjadi makhluk ciptaan Allah yang
lebih rendah kedudukannya.
Bahwa didalam kitap suci Al-Qur’an banyak
sekali ayat yang menganjur manusia mempergunakan akalnya dan mengejek
orang-orang yang tidak mempergunakan akal seperti yang terdapat dalam surat
Al-Bagarah ayat 44 yaitu
Wahyu merupakan kalam Allah yang
diturun kan kepada Nabi Muhammad SAW padam malam qadar kelangit pertama melalui
Jibril dan diturunkan kepada Nabi Muhammad secara beransur-ansur dalam masa 22
tahun atau 23 tahun. Dan sekaligus merupakan Mu’jizat yang terbesar bagi Nabi
Muhammad SAW. Dan wahyu yang merupakan Mu’jizat, telah dibukukan kedalam satu
kitab yang bernama Al-Qur’an, yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam diatas
pentas dunia sekarang ini.
Munculnya pemahaman Asy’ari masalah
akal dan wahyu dikarnakan aliran
Mu’tazilah lebih mementingkan akal dari pada wahyu. Sejalan dengan itu maka
akal mengetahui tentang adanya Alla SWT.
Namun dengan akalnya manusaia tidak dapat mengetahui sesuatu perbuatan itu
wajib atau tidak, karena kewajiban hanya dapat diketahui melalui imformasi dari
wahyu. Demikian pula akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib dan
dengan demikian tidak dapat mengetahu bahwa mengerjakan perbuatan baik dan
menjahui perbuatan jahat adalah wajib. [4]
Dan pandangan Asy’ari yang lain masalah
akal dan wahyu adalah bahwa akal manusia tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban sebelum turunnya wahyu. Semua kewajiban berdasarkan wahyu.
Akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan. Demikian pula pemberian
pahala bagi orang yang taat dan pemberian siksa bagi orang yang berbuat maksiat
adalah berdasarkan wahyu bukan akal.[5]
Dan
pendapat yang lain yang bersangkutan dengan akal dan wahyu ini adalah bahwa
akal itu dipakai untuk meneliti, sebagai alat pelaksana, bukan untuk menentukan
hukum sesuatu. Akan tetapi dalam menetapkan hukum, ini halal ini haram, ini
pahala ini dosa, dan menetapkan hal-hal yang terjadi dialam gaib, seperti surga
dan neraka, hari berhisab dan hari pembalasan. Semuanya itu ditentukan oleh
Syariat dan Tuhan. Karena agama itu punya Tuhan, bukan punya akal.[6]
Dari beberapa pandangan Asy’ari tentang
masalah akal dan wahyu diatas ketiga-tiganya
sama-sama benar tapi yang membedakannya cara redaksinya saja maksud dan
tujuannya sama. Disamping itu penulis berkesimpulan bahwa akal dan wahyu
sama-sama saling membutuhkan satu sama lain, tetapi salah satunya mempunyai
tugas masing-masing. Bila dikatakan mana yang lebih kuat akal atau wahyu dalam
menentukan hukum, maka dalam hal ini penulis lebih cenderung kepada wahyu,
karena segala hal yang menjadi kewajiban manusia tidak bisa ditangkap oleh
akal. Yang bisa menyelesaikan masalah
itu adalah wahyu. Kalau seandainya akal bisa menentukan suatu hukum atau
kewajiban maka dunia Islam akan amburadur, pemikiran kita pada hari ini akan
berbeda dengan hari sesudahnya, dan akal orang yang premitif tidak sama dngan
akal orang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan. Ringkasnya bahwa akal tidak
bisa menentukan suatu hukum apakah ini wajib, apa haram dan sebagainya.
2. Sipat Tuhan
Sipat tuhan merupakan topik pembahasan
yang sangat penting dalam tiologi Islam. Dengan mengetahui pandangan-pandangan
dari masing-masing aliran tiologi Islam, maka dapat diketahui aliran mana yang
benar–benar mempertahankan keesaan Allah Swt dan mana yang tidak.
Dalam masalah sifat tuhan ini Asy’ari
berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sifat mengetahui, hidup,
berkuasa, mendengar, melihat, dan lain-lain. Tuhan mustahil mendengar, melihat,
mengetahui dengan zay-Nya.[7]
Dalam keterangan diatas terkandung pengertian bahwa sifat-sifat tuhan bukanlah
zat tuhan. Sifat-sifat tuhan adalah sesuatu yang lain dari pada zat.
Asy’ari juga berpendapat tuhan itu
mempunyai sipat seperti, ilmu, hayat, sama’ dan basr. Sifat-sifat tersebut
bukanlah zatnya. Menurutnya Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan
demikian teratur tidak tercita kecuali diciptakan oleh tuhan yang mempunyai
ilmu. Demikian pula menurutnya Allah mempunyai qudrad, hayat dan sebagainya.
Sifat- sifat Allah berdiri dengan sendirinya.[8]
Asy’ri juga berpendapat tuhan itu
mempunyai sifat seperti ilmu, hayat, sama’ bashar dan qudrat. Sifat-sifat
tersebut bukanlah zatnya. Mustahil kata Asy’ari, Tuhan mengetahui dengan
zat-Nya.karena kalau demikian berarti zat-Nya adalah pengetahuan. Tuhan
bukanlah ilmu (pengetahuan) melainkan ‘alim (yang mengetahui). Dengan kata lain
tuhan mengetahui dengan sifat ilmunya, berkehendek dengan sifat kehendaknya,
dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut bukanlah edentik dengan zat-Nya, sifat
berdiri dengan sendiri dan zat berdiri dengan sendiri.[9]
Asya’ari juga berpendapat kita harus percaya
seyakin-yakinya bahwa Tuhan itu ada dan mempunyai banyak sifat. Boleh dikatakan
bahwa tuhan mempunyai sekalian sifat jamal (keindahan) sifat Jalal (kebesaran)
dan sifat kamal (kesempurnaan). Tetapi yang wajib diketahui dengan teperinci oleh setiap umat
Islam yang sudah baligh dan ber’akal, adalah dua pulih sifat yang wajib dan dua
puluh sifat yang mustahil dan satu yang harus.[10]
Dan dalil yang dijadikan alasan bahwa Allah SWT mempunyai sifat oleh Asy’ari
adalah firman Allah dalam surat AL- Hasyar ayat 22
هُوَ
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
Artinya: “ Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia, yang
mengetahu yang tersembunyi dan yang terang. Dia yang pengasih dan penyayang” (Q.S.
Al- Hasyar: 22)
Dan firman Allah dalam surat Al- Hasyar ayat 24
. هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ
الْمُصَوِّ
Artinya: ‘ Dialah Tuhan, yang mengadakan sesuatu,
pencipta dan pembentuk rupa “ ( QS. Al- Hasyar: 24)
Dari beberapa pendapat Asy’ari tentang
masalah sifat Tuhan diatas maka penulis lebih tertarik kepada pendapat yang
terakhir, karena disamping mudah dipahami dan Asy’ari mengungkapkan pula satu
dalil yang berkenaan dengan sifat Allah tersebut. Bukan berarti bahwa penulis
tidak menyetujui pendapat yang lainnya, diantara pendapat yang dikemukakan oleh
Asy’ari dalam masalah sifat tuhan ini semuanya benar dan ada hubungannya satu
samalain. Disamping itu poenulis juga sependapat dengan Asy’ari bahwa Allah
mempunyai sifat, sifat itu berdiri dengan sendirinya, dengan kata lain bahwa
sifat bukanlah zat.
3. Iman dan Kufur
Berbicara masalah iman dan kafir ini,
maka tidak terlepas dari perbedaan pendapat diantara aliran-aliran dalam
pemikir-pemikir tiologi Islam tentang masalah ini (iman dan kufur). Ada aliran
dalam tiologi Islam yang berpendapat bahwa iman itu bukan pengakuan dalam hati,
tetapi cukup dengan mengucap dengan lisan saja, dan amal ibadah menjadi rukun
iman juga. Pendapat ini yang dipegangi oleh golongan Khawarij. Mereka menghukum
kafir terhadap orang yang tidak melakukan ibadah yang telah ditentukan sebagai
kewajiban bagi mereka. Dan aliran lain berpendapat bahwa iman itu cukup diakui
dalam hati saja, walaupun tidak diikrarkan dengan liasan. Pendapat inilah yang
dipegangi oleh aliran Jabariyah. Permasalahan ini tidak penulis perpanjangkan
karena tidak sebagai objek permasalahan yang akan dibahas. Yang menjadi
pembahasan penulis adalah pandangan Iman Asy’ari terhadap masalah iman dan
kufur.
Sebangaimana penulis kutip dalam sebuah
buku karangan Sarajuddin Abas bahwa Asy’ari berpendapat bahwa Iman adalah
mentasdikkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengerjakan dengan
anggota. Berarti kalau seseorang telah membenarkan dalam hatinya bahwa Tuhan
ada dan tunggal, bahwa Nabi Muhamad Rasulnya, sesudah itu diucapkan dengan
lisan, maka orang itu sudah muslim dan mukmin dan berlaku baginya sekalian
hukum yang bertalian dengan orang mukmin, mereka hanya diminta mengucapkan
syahadah.[11]
Sedangkan kufir menurut pandangan Asy’ari adalah orang yang ragu atas adanya
Allah, ragu terhadap adanya Rasul, ragu terhadap bahwa Ai-Qur’an itu wahyu
Allah, ragu bahwa akan ada hari kiamat, akhirat, surga, ragu bahwa Nabi
Muhammat isra’dan Mi’raj dan lain-lain.
Pendapat lain Asy’ari masalah iman dan
kafir adalah iman pengakuan hati tentang keesaan Tuhan dan kebenaran Rasul-rasulnya
serta pengakuan melalui lisan, dan ketaatan dalam menjalankan perintah.[12]
Berarti ada dua posisi manusia, posisi mukmin dan kafir. Orang yang sudah mengucapkan
dua kalimat sahadat menurut Asy’ari bila melakukan dosa besar tetap mukmin, ia
menjadi mukmin yang fasik. Orang yang kafir adalah orang yang mengingkari
masalah I’tikad.
Dari beberapa pembahasan diatas maka
dapat penulis ambil satu kesimpulan, bahwa iman adalah ditasdik dalam hati dan
diikrar dengan lisan disertai dengan pengamalan. kafir adalah orang yang tidak
mempercayai adanya tuhan dan masalah-masalah I’tikad. Tetapi kalau seorang
mukmin yang telah melakukan dosa besar tetap sebagai mukmin tafi mukmin yang
durhaka.
3. Perbuatan Tuhan dan Perbuatan
Manusia
Asy’ari
berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tidak ada sesuatu yang wasjib
baginya. Tuhan bekehendak sekehendaknya. Tuhan tidak tunduk kepada siapapun,
tidak ada zat diatas Tuhan yang dapat membuat hukum-hukum dan menentukan apa
yang tidak boleh diperbuat dan apa yang boleh dikerjakan. [13]
Disini nampaklah Tuhan boleh saja memasukkan sekalian orang yang baik dan jahat
kedalam surga dan juga boleh memasukkan manusia kedalam neraka. Perbuatan
memasukkan oleh Tuhan orang yang jahat kedalam surga dan orang yang baik
kedalam neraka, bukan merupakan satu kewajiban, mengenakan satu kewajiban
kepada Allah sama artinya memberi Tuhan satu hukum maha suci Tuhan dari segala
hukum.
Maka
dari keterangan diatas maka dapat penulis ambil satu pengertian bahwa pendapat
pokok Asy’ri dalam masalah perbuatan Tuhan adalah bahwa tidak ada kewajiban
bagi Tuhan ia berkehendak terhadap segala ciptaannya apa yang ia kehendakai.
Tuhan mempunyai kekuasaan yang mutlak. Tidak ada satu penciptapun yang dapat menandingi perbuatan Tuhan.
Dan dalam masalah perbuatan manusia Asy’ari
berpendapat bahwa perbuatan manusia bukan diwujudkan oleh manusia itu sendiri, tetapi diwujudkan oleh Tuhan;
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan itulah yang diperoleh (kasab) oleh
manusia. Asy’ari juga berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak akan terlepas
dari kekuasaan dan kehendak mutlak Allah. Manusia tidab mempunyai kemampuan tampa
ada izin dan kehendak Allah. Perbuatan baik dan buruk hanyalah terjadi dengan
kehendaknya. Perbuatan kafir adalah buruk, walaupun orang kafir ingin supaya
perbuatan kafir itu sebenarnya bersifat baik, apa yang dikehendaki orang kafir
ini tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan
sulit, walaupun orang mukmin itu ingin supaya perbuatan iman itu tidak berat
dan sulit. Namunn yang dikehendaki orang mukmin itu tidak dapat diwujudkan.[14]
Selain
itu Asy’ri juga berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai pilihan didalam
perbuatanya, karena semua yang dilakun manusia berdasarkan ketentuan Tuhan.
Baginya tuhan menciptakan perbuatan manusia. Hakikatnya perbuatan itu tidak
akan terjadi kecuali diciptakan oleh orang yang menciptakannya.[15]
Dari
keterangan diatas maka dapat penulis ambil satu pegertian segala model
perbuatan yang dilakukan oleh makhluk ciptaan Tuhan, tidak satupun yang mampu
menciptakan perbuatan. Karena pada hakiikatnya segala perbuatan dicptakan oleh
yang maha kekuasaan yaitu Tuhan. Manusia cuma memperoleh pemberian kekuatan
dari Tuhan. Yang diistilahkan dengan kasab.
D. Persamaan dan Perbedaan dengan Tokoh-tokoh Selanjutnya
1. Al- Baqillani
Nama lengkapnya Muhammad Ibn al- tayyib
Ibn Muhammad Abu Bakr al- Baqillani. Ia dilahirkan di M Basrah dan wafat di
Baqdad, hidup dari tahun 338 H/950 M sampai 403 H/1013 M. ia salah satu tokoh
terpenting yang mendukung dan menyebar luaskan paham Asy’ari. Bila Asy’ari
merupakan Tioloq yang dalam bidang fikih bermazhab Syafi’i. maka Baqillani
merupakan Tialog yang dalam bidang fikih bermazhad Maliki.[16]
Sebagai tokoh yang berpegang kepada
pemahaman Asy’ari, maka dapat kita maklumi bahwa pada umumnya pendapat
Baqillani sejalan dengan paham Asy’ari.
Namun
setiap manusia tidak selalunya sepaham dalam memecahkan satu masalah. Maka
Baqillani tidak sepaham dengan Asy’ari tentang perbuatan manusia. Menurutnya
manusia mempunyai sumbangan yang efektif bagi terwujudnya satu perbuatan.
Memang Tuhan yang mewujudkan gerak yang terdapat pada manusia, tetapi sipat dan
bentuk gerak itu, seperti duduk, berdiri, bertinju, berjalan, dan lain-lain,
bukan tuhan yang mewujudkannya. Manusialah yang mewujudkan sifat dan bentuk
gerak tersebut. Dan pendapat Baqillani yang lain yang bertentangan dengan
Baqillani adalah bahwa Baqilli mengatakan sifat adalah hal.[17]
Dari
keterangan diatas maka dapat penulis mengambil satu pengertian bahwa pada
umumnya pendapt Baqillani dalam bidang Tioloq sama dengan Asy’ari. Tapi yang membedakan
adalah perbuatan pada hakikatnya dari Tuhan tapi sifat dan bentuk perbuan manusialah
yang menwujudkannya.
2. Juwaini
Nama
lenngkapnya adalah ‘Abd al- Malik al- Juwaini. Terkenal juga dengan nama Iman
al-Harmayn. Ia dilahirkan di Nasabur tahun 419 H/1028 M. ia digelari Iman
al-Harmain, karena pernah bermukim dan mengajar di dua kota suci, Mekkah dan
Madinah. Ia cukup lama memimpin Madrasa Nizamiah di Nasabur, dan wafat disana
pada tahun 478 H/1085 M. Ia adalh Teoloq Asy’ari yang dalam bidang fikih
bermahab Syafi’i.[18]
Seperti
halnya Baqillani, ternyata Juwaini juga tidak selalu sepaham dengan ajaran
Asy’ari tetapi pada umumnya pendapat dia sama dengan Asy’ri. Juma dia
berselisih pendapat tentang merasa perlu untuk mentakwilkan ayat-ayat tasybih,
seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Juwaini berpendapat bahwa tangan Tuhan
haruslah ditakwilkan (diartikan) kekuasaannya, wajah Tuhan diartikan dengan
wujudnya, dan keadaan Tuhan duduk di
‘arasy diartikan dengan berkuasa dan maha tinggi. Dan pendapat Juwaini yang
lain yang berberbeda dengan Asy’ari adalah tentang masalah perbuatan manusia.
Bahwa daya yang terdapat pada manusia mempunyai efek. Efeknya itu serupa dengan
efek yang terdapat pada hubungan antara sebab dan akibat. Terwujudnya satu
perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia; wujud daya itu tergantung
pula kepada sebab yang lain, wujud sebab ini tergantung pula kepada sebab yang
lain sehingga berakhir wujud segala sebab itu kepada tuhan.
Dari
pengertian diatas maka dapat penulis mengambil satu pengertian bahwa perbedaan
pendapat antara Asy’ari dengan Juwaini dalam masalah tiologi Islam Cuma dalam
masalah bahwa Juwaini harus mentakwilkan
ayat-ayat tasybih dan perbuatan tuhan adanya sebab dan akibat.
3. Gazali
Nama lengkapnya adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali al- Tusi. Ia dilahirkan di desa Gazaleh,
termasuk kedalam kota Tus pada tahun 450 H/1058 M. selama delapan tahun dia
berguru dan bergaul dengan Juwaini di Nasabur, dan berhasil menjadi tokoh yang
tak dapat ditandingi. Dari usia 33 sampai 38 tahun, ia memimpin perguruan
tinggi Nizamiah, baqdad, dan semakin mashur namanya. Setelah mengalami sakit
dan tidak bisa berbicara selama enam bulan, karena komplik batin antara tetap
meneruskan karir akademik atau mengundurkan diri untuk menjalani hidup kesupian
akhirnya ia tinggalkan kota Baqdad pada tahun 488 H, mengembara keDamaskus,
Yirusalem, Mekkah, Madinah dan kembali ke Tus. Dan beliau terkenal dengan orang
yang pertama kali memadu tasawuf yang moderat dengan tiologi, fikih dan etika.[19]
Namun walaupun ia merupakan salah satu tokoh yang selalu berpegang kepada
pendapat Asy’ari, tidak berarti bahwa diantara dia dengan pemikiran Asy’ari
tidak terdapat perbedaan. Pada umumnya pendapat Gazali sama dengan pendapat
Asy’ari. Dan mereka berbeda pendapat tentang masalah sipat Tuhan dan perbuatan
manusia. Al- Gazali berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat yang berada diluar
zat. Manusia tidak dapat mewujudkan perbuatanya tapi Tuhanlah yang mewujudkan
perbuatan manusia seluruhnya.
E. Kesimpulan
1. Akal dan wahyu tidak bisa dipisahkan tapi mempunyai kerja masing-masing
tetapi wahyu lebih diutamakan dari pada akal. Akal tidak bisa menentukan satu
kewajiban yang bisa menentukan satu kewajiban adalah wahyu.
2. Allah mempunyai sifat yang banyak seperti
sifat ‘imu, basir, qudrat, hayat dan sipat-sipat yang lain. Dan yang wajib
diketahui bagi orang Islam yang baliq dan berakal adalah dua puluh sifat yang
wajib, dua puluh sipat yang mustahil dan satu yang harus. Ringkasnya bahwa
Tuhan mempunyai sifat.
3. Iman adalah ditasdikkan didalam
hati, diikrar dengan lisan, serta disertai dengan amal. Sedangkan kafir orang
yang ragu dengan adanya Allah, ragu terhadap Rasulallah, ragu terhadap ari
kiamat, surga dan lain-lain.
4. Segala perbuatan semata-mata
kehendak Allah tidk ada yang menciptakan perbuatan kejuali Allah, tetapi Allah
tidak mempunyai hukum semuanya dibuat dengan sekehendaknya. Perbuatan kufur itu
burauk, walaupun bagaimana orang kafir ingin perbuatan itu baik namun dia tetap
perbuatan jahat. Perbuatan muslim itu bagus, tapi sulit, bagai manapun
seseorang mukmin ingin perbutan itu tidak sulit maka seorang mukmin tidak dapat
menciptakannya, ringkasnya segala perbuatan diciptakan oleh Alla SWT.
5. ketiga tokoh al-Asy’ariah
mempunyai perbedaan pendapat tentang sifat Tuhan, menurut al-Baqillani sifat
Tuhan sama dengan hal, bila Tuhan Mengetahui, berarti ia mengetahui keadaan
mengetahui. Berbeda dengan al-juwaini yang berpendapat bahwa harus mentakwilkan
ayat-ayat mutasabihah. Sedangkan bagi al-Ghazali Tuhan mempunyai sifat yang
berada diluar zat.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai
perbuatan manusia, bagi al-Baqillani, manusia mempunyai kekuatan untuk
menunjukkan perbuatannya, bagi al-juwaini, perbuatan yang diwujudkan manusia
tergantung pada daya manusia dan daya itu tergantung pada sebab akibat yaitu
Tuhan. Ringkasnya perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia dan Tuhan.
Sedangkan bagi al-Ghazali manusia tidak bisa menunjukkan perbuatannya tetapi
yang menunjukkan perbuatan itu adalah Tuhan.
[1] . Harun Nasution, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Asfeknya, (Jakarta: Pres, 1997), h. 4o
[2] . Ahmad Hanafi, Pengantar
Tiolog Islam, (Jakarta: Jaya Murni, 1994) h. 128
[3] . Harun Nasution, Tiologi
Islam, (Jakarta: UI, 1972) h. 62
[4] . Duskiman Sa’ad
Aliran Dalam Islam,
Perbedaan Pemahaman Dalam Kajian Thiologi Islam, (Padang: IAIN-IB Press) h.
82
[5] . Ilhamuddin, Pemikiran Kalam
Al-Baqillani, Studi Tentang Persamaan Dan Perbedaannya Dengan Al-Asy’ari, (Yokyakarta: PT Tiara Wacana Yogya)
h. 115
[6]. Sirajuddin Abas, I’qtikad
Ahlussnnah Wal-Jama,ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah) h.184
[7] . Abdul Azis Dahlan, Teologi
Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN-IB Press) h.144
[8] . Ibid. h. 43
[9] . Ibid. h. 81
[10] . Ibid. h. 37
[11] . Sirajuddin Abas, Op. Cit,
h. 88
[12] Duskiman Sa’ad Op. Cit. h. 113
[13] . Toshiro Izutsu, Konsep
Kepercayaan Dalam Tiologi Islam, (Yokyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994) h. 243
[14] . Ibid. h. 287
[15] . Duskiman Sa’ad, Op, Cit.
83
[16] . Ali Mustafa Gurabi, Tarikh
Al- Firaq Al- Islamiyyah Wa Naay’at ‘llm
Al- Kalam ‘Ind Al- Muslimin,
(Kaio: 1979) h. 217
[17] . Abd Azis, Op. Cit. 119
[18] . Harun Nasutian, Tiologi
Islam Aliran-Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta: Pen. UI, 1986) h. 72
[19] . Ibid. h,83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar