I.
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa
munculnya beberapa golongan dan aliran dalam Islam pada dasarnya berawal dari
menyikapi permasalahan politik yang terjadi diantara umat Islam, yang akhirnya
merebak pada persoalan Teologi dalam Islam. Tegasnya adalah persoalan ini
bermula dari permasalahan Khilafah, yakni tentang siapa orang yang berhak
menjadi Khalifah dan bagaimana mekanisme yang akan digunakan dalam pemilihan
seorang Khalifah. Di satu sisi umat Islam masih ingin mempertahankan cara lama
bahwa yang berhak menjadai Khalifah itu adalah secara turun temurun dari suku
bangsa Quraisy saja. Sementara di sisi lain umat Islam menginginkan Khalifah
dipilih secara demokrasi, sehingga setiap umat Islam yang memiliki kapasitas
untuk menjadi Khalifah bisa ikut dalam pemilihan.
Rumitnya persoalan ini dipicu
oleh ego kesukuan dan kelompok yang saling mementingkan kelompok masing-masing,
hingga akhirnya memuncak pada masa kekhalifahan Usman Bin Affan, yakni pada
tahun ke 7 kekhalifahan Usman sampai masa Ali Bin Abi Thalib yang mereka anggap
sudah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga terjadilah saling bermusuhan
bahkan pembunuhan sesama umat Islam. Masalah pembunuhan adalah dosa besar dalam
Islam, dalam menyikapi masalah inilah persoalan politik merebak ke ranah
teologi dalam Islam. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat dan faham, yang
akhirnya muncul dalam bentuk kelompok dan golongan yang menyebabkan umat Islam
terdiri dari beberapa golongan dan aliran.
Dalam makalah ini Penulis
membahas tentang Sekte dan Ajaran Pokok golongan Khawarij dan Murjiah yang muncul karena terjadinya permasalan
politik kenegaraan dalam Islam, serta perbedaan pendapat dikalangan umat Islam
yang mempengaruhi munculnya teologi dalam Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Kaum Khawarij
Sebagaimana yang telah
diketahui bahwa kaum Khawarij berasal pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan keluar
dari barisannya disebabkan oleh ketidak
setujuan mereka terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menyetujui tawaran damai
dengan Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dalam perang siffin yang dikenal dengan
arbitrase atau tahkim. Mereka merasa arbitrase hanya menguntungkan bagi pihak
Mu’awiyah yang menyatakan Mu’awiyah lah yang harus diakui sebagai Khalifah.
Nama Khawarij berasal dari
kata ”Kharaja” yang artinya” keluar”. Nama itu diberikan kepada mereka
dikarenakan mereka keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib. Menurut Ahmad Amin, nama
Khawarij mereka sendiri yang menamakannya berdasarkan surat Annisa’ ayat 100,
yang didalamnya disebutkan ” Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya.
Berdasarkan pendapat ini kaum Khawarij memandang kelompok mereka sebagai orang
yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada
Allah dan Rasulnya.[1]
Mereka juga menamakan diri mereka dengan ”al- Syur`at”,
yang berasal dari kata ”Yasri” artinya ” menjual” yang terambil dari surat al-
Baqarah ayat 207. Dan mereka juga mempunyai nama lain yaitu al- Harurat, disebabkan setelah meninggalkan
Ali mereka berkumpul di sebuah desa dekat kota Kuffah yang bernama Harura. Di
sinilah mereka mengangkat Abdullah Bin Wahab Arrasibi sebagai imam mereka
sebagai ganti dari Ali Bin Abi Thalib.[2]
Berdasarkan pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kata Khawarij yang artinya keluar ,
karena meraka menyatakan keluar dari barisan Ali disebabkan tidak setuju dengan
arbitrase atau tahkim. Dan disandarkan kepada penyebab mereka menyebut golongan
mereka dengan nama khawarij, karena mereka menganggap golongan mereka sebagai
orang-orang yang bersikukuh dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka
harus meninggalkan barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib. Hal ini disebabkan oleh karena mereka
tidak sependapat dengan Ali untuk menghentikan peperangan yang sudah diambang kemenangan
dan memilih arbitrase. Dan ternyata Mu’awiyah yang sudah berpengalaman
memanfaatkan arbitrase dengan kelicikannya untuk menobatkan diri sebagai orang yang
berhak menjadi Khalifah.
Konon pada awalnya Ali meragukan untuk
menerima tawaran arbitrase atau tahkim yang ditawarkan oleh Mu’awiyah dan
pengikutnya, karena Ali tahu persis dengan kelicikan dari Mu’awiyah sekalipun
Mu’awiyah dan Amru Bin Ash mengangkat Mushaf sebagai dasar bertahkim kepada Al-Quran,
untuk mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya. Akan tetapi dengan
pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin Abi Thalib yang setuju dengan
tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib menerima dengan lapang dada demi
menjaga keutuhan kelompoknya.
Namun sebagian lagi dari
pengikut Ali Bin Abi Thalib tidak setuju dengan arbitrase, karena kemenangan
sudah hampir mereka peroleh dalam perang siffin, dan menurut mereka arbitrase
hanya menguntungkan bagi Mu’awiyah dan Amru Bin Ash yang licik dengan taktiknya.
Sehingga mereka yang tidak setuju dengan menyatakan mundur dan keluar dari barisan Ali.
Mereka pergi menuju Harura, sebuah desa di dekat kota Kuffah di Irak. Dan
mereka mengangkat Abdullah Bin Wahb Al Rasyidi menjadi Imam mereka. Inilah
kelompok yang dikenal dengan sebutan Khawarij yang pertama yang beranggotakan
sekitar 12 ribu orang.[3]
Kelompok Khawarij disebut pula
dengan Haruriyah, karena dinisbatkan kepada Harura nama desa yang mereka
tempati. Mereka juga dinamakan Al-Muhkamah, karena mereka yang mengatakan
”Bahwa tidak ada ketetapan Hukum kecuali milik Allah”. Mereka juga menamakan
kelompok mereka sendiri dengan sebutan Asy-Syurat yang artinya orang yang
menjual atau mengorbankan diri kepada Allah berdasarkan firman Allah surat
Al-Baqarah ayat 207.[4]
Dengan demikian nyatalah
Khawarij sebagai suatu golongan yang memisahkan diri dari pemerintahan Ali Bin
Abi Thalib, disebabkan oleh watak yang keras dan pemikiran yang ekstrim dari
mereka, sehingga Khawarij dianggap sebagai kelompok pemberontak dimasa Kekhalifahan
Ali. Dalam berbagai pertempuran besar Khawarij dapat dikalahkan oleh pasukan
Ali. Namun akhirnya seorang Khawarij yang bernama Abd Al-Rahman Bin Muljam
berhasil membunuh Ali Bin Abi Thalib.
Walaupun Khawarij telah
mengalami kekalahan, mereka tetap bisa menyusun kekuatan kembali dan meneruskan
perlawanan terhadap kekuasaan Islam
resmi baik di zaman Dinasty Umaiyyah
maupun di zaman Dinasty Abbasiyyah.
Kemudian dalam perang saudara pada masa Ibn Az-Zubir, dua gerakan kaum Khawarij
yang memliki peran yang sangat besar dalam merangsang pengembangan teologi
sehingga berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi kelompok yang cukup besar. Kelompok Khawarij pertama adalah
sub sekte Azraqiah sesuai dengan nama pimpinan mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq
dan kepemimpinan Az-Zubair. Namun pada tahun 684 M, kota Basra jatuh ke tangan
Ibn Az-Zubair, sehingga orang-orang sekte Azrqiah yang tersisa melarikan diri
ke pegunungan di sebelah timur Basra. Akhirnya tentara Bani Umaiyyah yang
berkuda pada waktu itu berhasil memusnahkan kekuatan mereka.[5]
Sebagai golongan yang ekstrim Khawarij memang
menanggapi setiap permasalahan yang muncul pada waktu itu secara keras dan
sempit, siapapun pemimpin Islam, apabila tidak memerintah sesuai dangan
Al-Quran dan Sunnah yang mereka fahami secara lafziyah, mereka anggap telah
menyeleweng dari ajaran Islam, dan mereka mesti ditentang dan dijatuhkan,
bahkan darah mereka menjadi halal atau harus dibunuh. Namun sebagian kecil dari
mereka ada yang berfaham sedikit moderat seperti Sekte Ibadiyah, yang akan
penulis paparkan berikut ini.
B. Sekte dan Ajarannya
1. Al-Muhakkimah
Sekte Al-Muhakkimah adalah
golongan Khawarij yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang
menyatakan dirinya telah keluar dari barisan Ali dalam perang siffin. Mereka
disebut dengan golongan Khawarij Asli. Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib,
Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dan kedua pengantara Amru Bin Ash dan Abu Musa
Al-Assyari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi
kafir. Kemudian hukum kafir ini mereka perluas pengertiannya sehingga termasuk
kedalamnya tiap orang yang melakukan dosa besar.[6]
Menurut mereka berbuat zina
adalah dosa besar, maka bagi pelaku zina telah menjadi kafir dan keluar dari
Islam. Dan begitu juga dengan orang yang membunuh sesama manusia tanpa alasan
yang sah, menurut mereka juga dosa besar. Dengan demikian pelaku pembunuhan
telah keluar dari Islam dan menjadi kafir.
Sebagaimana telah disebutkan
diatas, bahwa galongan Khawarij telah menganggap orang-orang yang menerima Tahkim atau arbitrase adalah kafir atau
murtad. Orang-orang seperti ini menurut mereka wajib dibunuh karena tidak
menentukan hukum sesuai dengan Al-Quran. Selain itu mereka juga membicarakan
masalah siapa yang tetap Mu’min yang menjadi ajaran pokok dan teologi Khawarij
seperti pelaku dosa besar.
2. Al-Azariqah
Golongan ini adalah kelompok
yang besar dan terkuat setelah hancurnya golongan Al-Muhakkimah. Daerah
kekuasaan Al-Azariqah adalah pada perbatasan Irak dengan Iran. Nama Al-Azariqah
terambil dari nama pemimpin mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq yang meninggal pada
tahun 686 M di Irak. Sub Sekte ini memiliki pandangan yang lebih radikal
dibanding sekte Al-Muhakkimah, karena mereka tidak lagi memakai istilah kafir
bagi pelaku tahkim dan dosa besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme
yang dosanya lebih besar dari trem kafir.[7]
Menurut Al-Azariqah, semua
orang yang tidak sefaham dengan mereka adalah musyrik, walaupun orang yang
sefaham dengan Al-Zariqah tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka
juga dipandang musyrik. Menurut mereka, daerah Islam itu hanyalah daerah
kekuasaan mereka saja, sedangkan orang yang tinggal diluar daerah kekuasaan
Al-Zariqah adalah musyrik, mereka boleh ditawan dan dibunuh. Bahkan istri dan
anak-anak dari orang yang dipandang musyrik boleh dibunuh.[8]
Dengan demikian agaknya sekte Al-Zariqah nyata-nyata menganggap hanya
golongan merekalah yang sebenarnya orang Islam, adapun orang-orang yang diluar
lingkungan mereka adalah kaum musyrik dan daerahnya adalah Darul Al Kufr, maka
harus diperangi. Maka Ibn Al-Hazm mengatakan, orang-orang sekte Al-Zariqah
selalu melakukan Isti’rad, yakni selalu mempertanyakan pendapat atau keyakinan
seseorang. Siapa yang mereka jumpai mengaku oarang Islam, yang tidak termasuk
golongan Al-Zariqah langsung mereka bunuh.
Sekte Al-Zariqah merangsang pemikiran teologis
karena secara logika mereka merumuskan kedudukan Khawarij pada kesimpulan yang
ekstrim, prinsip dasarnya yang telah dirumuskan dalam bahasa Al-Quran bahwa
tidak ada keputusan selain keputusan Allah ( La Hukma Illa Lillah ) yang
berarti keputusan adalah hak Allah semata, dengan demikian menurut mereka
keputusan harus diambil sesuai dengan harfiahnya Al-Quran.[9]
Sekte ini juga berpendapat
bahwa penguasa yang telah berbuat dosa dan menyatakan bahwa siapa yang tidak
ikut mereka dalam memerangi penguasa yang ada juga adalah pendosa. Sedangkan
anggota kelompok Al-Zariqah adalah kelompok muslim sejati.
3. Al-Najdad.
Sekte Khawarij ini muncul
disebabkan terjadinya perbedaan pendapat dengan kubu Al-Zariqah, tentang faham
bahwa orang yang tidak bergabung dengan Al-Zariqah adalah orang musyrik. Maka
untuk itu mereka mengangakat pimpinan sendiri yang bernama Najdah Bin Amir
Al-Hanafi dari Yamamah. Begitu juga dengan pendapat Al-Zariqah tentang boleh
dan halalnya anak dan istri orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka
untuk dibunuh.[10]
Najdah memiliki pendapat yang
sangat berbeda dengan dua sekte Khawarij sebelumnya yakni bahwa orang yang
melakukan dosa besar, yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang
Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Sedangkan pengikut-pengikut Najdah
yang melakukan dosa besar, memang betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan
didalam neraka dan kemudian akan masuk ke syurga. Kemudian dosa kecil kalau
dilakukan terus-menerus akan menjadi dosa besar dan orang yang mengerjakannya
menjadi musyrik.
Sekte Najdah atau Najdiyah
kebanyakan mereka terdiri dari kaum Khawarij yang berasal dari Arabia Tengah
yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka mulai dari tahun 686 – 692 M adalah
Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan sekte Najdah mencakup bentangan luas
Arabia bahkan Oman di pantai timur Yaman serta Hadramaut di selatan dan barat
daya. Pertikaian yang sering terjadi dalam masalah kepemimpinan menjadikan
sekte Najdah terpecah kepada beberapa sub sekte, dan kemudian Yamamah ditindak oleh tentara
Umayyah.[11]
Nampaknya sebagian besar
pandangan kaum Najdah berdasarkan pada pandangan hukum seperti yang biasa
muncul dalam pemerintahan suatu negara yang memiliki wilayah yang luas, seperti
persoalan-persoalan perlakuan pimpinan terhadap tawanan perang wanita, hukuman
pengadilan kasus-kasus pencurian serta perampokan. Dari pandangan kaum Najdiyah
mengenai masalah seperti itu, tergambar bahwa adanya upaya awal untuk
mempertimbangkan kembali konsep-konsep Khawarij, tentang masyarakat Islam
sejati dan tujuan memberikan keringanan karena ketidak sempurnaan manuasia
dalam menghindarkan diri dari larangan Agama. Pandangan kaum Khawarij yang
keras yang dijadikan dasar oleh kaum Najdiyah adalah bahwa seseorang yang
terlibat dalam dosa besar penghuni neraka. Kalau bagi kaum Al-Zariqah
pelaku dosa besar dengan mudah dapat dikeluarkan dari daerah kekuasaannya,
tetapi bagi kaum Najdiyah yang memiliki daerah yang luas tidak mudah untuk
mengeluarkan seseorang dari wilayahnya, jadi menurut mereka hal itu tidak
diperlukan, ini adalah atas dasar
pertimbangan bahwa manusia normal manapun juga cendrung untuk mengakui
adanya keburukan dan kebaikan.
Menurut kaum Najdiyah dosa
kecil yang dilakukan seseorang akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus
menerus dan yang mengerjakannya akan menjadi musyrik. Kemudian yang diwajibkan
bagi tiap muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram
membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh yang di wahyukan Allah kepada
Rasul-Nya. Orang yang tidak mengetahui tiga macam ini tidak dapat diampuni.
Yang dimaksud orang Islam disini adalah orang kaum Najdiyah. Dalam masalah
selain diatas, orang Islam tidak diwajibkan untuk mengetahuinya, kalau ia
melakukan sesuatu yang haram dengan alasan ia tidak tahu bahwa itu adalah
haram, ia dapat dimaafkan.[12]
Selain itu lapangan politik
Najdah berpendapat bahwa Imam itu perlu jika maslahat menghendakinya. Menurut
mereka seseorang boleh saja tidak berhajat pada adanya imam atau pemimpin. Di
kalangan Khawarij, golongan ini kelihatannya yang berkeyakinan bahwa mereka
boleh saja merahasiakan keyakinan demi untuk keamanan diri seseorang yang
disebut dengan Taqiah. Taqiah bukan hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam
bentuk perbuatan. Dengan demikian seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan
boleh melakukan perbuatan yang mungkin menunjukkan dia secara lahiriyah nya
bukan orang Islam, tetapi pada hakikatnya ia tetap menganut agama Islam.
Walaupun demikian tetapi tidak
semuanya golongan Najdiyah setuju dengan pendapat tersebut, terutama bahwa dosa
besar tidak membuat pelakunya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi
dosa besar. Akhirnya perpecahan dikalangan mereka terjadi dalam masalah pembagian
harta rampasan perang atau qarimah, dan sikap lunak yang diambil oleh Najdah
terhadap khalifah Abd Al-Malik Ibn Marwan dari Dinasty Bani Umayyah. Dalam perpecahan
ini Abd Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Afiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah
ke Sajistan Iran dan akhirnya Najdah dapat mereka bunuh.[13]
4. Al-Jaridah
Golongan ini adalah pengikut
Abd. Karim Bin Ajrad yang sekelompok dengan ’Atiah bin Al-Aswad. Dimana pada
awalnya mereka adalah golongan Al-Najdah, sehingga pemikiran Al-Jaridah serupa
dengan pemikiran Al-Najdah. Diantara pemikiran Al-Jaridah yang spesifik adalah
tentang masalah anak kecil harus bebas dari seruan kepada Islam, kecuali
setelah ia baligh. Dan bagi orang musyrik tetap berada didalam neraka bersama orang tuanya. Diantara prinsip mereka
adalah Hijrah hanya merupakan keutamaan bukan kewajiban. Orang-orang yang
melakukan dosa besar tetap kafir dan tidak boleh mengambil harta rampasan
perang, tidak boleh membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang.
Kalau Al-Jaridah masih
bersikap lunak terhadap kewajiban berhijrah karena hijrah itu hanya merupakan
suatu kewajiban saja. Dan pengikut Al-Jaridah boleh tinggal diluar daerah
kekuasaan mereka, artinya mereka tidak dianggap kafir. Selanjutnya kaum
Al-Jaridah ini mempunyai faham puritanisme. Menurut mereka Al-Quran sebagai
kitab suci tidak mungkin mengandung cerita cinta sebagaimana yang diyakini
golongan lain, sehingga mereka tidak meyakini surat Yusuf sebagai bagian dari
Al-Qur`an.
5. Al-Sufriah
Pimpinan golongan ini adalah
Ziad Ibn Al-Asfar. Dimana golongan ini terkenal dengan gerakan evolusi praktis
dalam pemikiran Khawarij. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Abdurrazaq dalam bukunya ”Al-Khawarij
fi biladil Magrib” bahwa keyakinan golongan Sufriyah atau Syafariyah bahwa
mereka tidak berlebihan dalam bersikap yang hanya justru menyebabkan perpecahan
dikalangan Khawarij seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka tetap melakukan
hukum rajam bagi pezina, tidak membunuh anak-anak orang musyrik serta tidak
mengkafirkan seperti pendapat golongan Azariqah. Mereka juga membolehkan
Taqiah, tetapi hanya dalam perkataan, bukan perbuatan.[14]
6. Al- Ibadiyah
Golongan Al-Ibadah adalah
pengikut Abdullah Bin Ibadh At-Tamimy. Ia hidup pada pertengahan kedua abad I
Hijriyah. Mereka lebih dekat kepada golongan Islam dari pada golongan Khawarij.
Pendapat-pendapat mereka lebih solider dari pada kelompok Khawarij yang lain.
Pada tahun 686 M, mereka memisahkan diri dari golongan Al-Zariqah. Faham
moderat mereka dapat dilihat di ajaran-ajarannya sebagai berikut :
- Orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi kafir. Maka orang Islam yand demikian boleh melakukan perkawinan dengan orang Islam lain, dan hubungan warisan, shahadat mereka dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram.
- Daerah Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah kafir
- ”Dar Tawhid” yakni daerah yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp pemerintah. Mereka boleh diperangi karena menurut mereka camp pemerintah adalah daerah orang kafir.
- Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah muwahid, orang yang meng Esakan Tuhan tetapi bukan mukmin, dan kalaupun mereka kafir tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir rullah.
- Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta seperti emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya kecuali bila dia sudah mati.[15]
Kemudian pendapat golongan
Ibadiah yang terpenting adalah bahwa semua yang di wajibkan Allah terhadap
makhluknya merupakan gambaran dari iman. Iman harus mencakup sisi awal yang
merupakan bagian dari iman. Namun mereka tidak memberikan kejelasan tentang
masalah kedudukan anak orang musyrik. Menurutnya mereka boleh saja disiksa atau
boleh juga masuk syurga.
C. Ajaran Pokok Khawarij
Diantara ajaran pokok Khawarij berkisar tentang
masalah kekhalifahan atau politik ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal
perbuatan umat Islam antara lain:
- Khalifah tidak mesti berasal dari suku Quraisy, siapa saja yang mapunyai kapasitas untuk menjadi khalifah dan bisa berlaku adil dapat dipilih, apabila tidak mampu wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak bersifat turun temurun. Pendapat ini akhirnya dianut oleh Ahli Sunnah.
- Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir. Dosa besar yang dimaksud kaum Khawarij adalah orang yang bertahkim tidak dengan Al-qur`an, berzina dan memakan harta anak yatim tidak sefaham dengan mereka dinyatakan kafir.
- Untuk menentukan kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada amal perbuatannya. Sungguhpun seseorang telah bersahadat, tetapi melanggar ketentuan agama maka dihukum kafir.[16]
D. Kaum Murji`ah
Munculnya kaum murji’ah
ditengah suasana pertentangan yang terjadi dikalangan umat Islam pada dasarnya
tidak berbeda jauh dengan munculnya kaum Khawarij. Kaum murji’ah muncul juga
disebabkan oleh persoalan politik dalam
masalah khilafah. Dapat dikatakan agaknya kaum murji’ah adalah orang-orang yang
tehimpun dalam sebuah golongan yang tampil beda dalam menyikapi
persoalan-persoalan yang terjadi pada masa mereka . Namun kaum murji’ah
tidaklah terpengaruh dengan praktek kafir-mengkafirkan sesama umat Islam.
Mereka lebih netral dibanding Khawarij yang begitu fanatik dan ekstrim dalam
ajarannya.
Kata Murji`ah berasal dari kata ”al- Irja`” yang
berarti ”al- Ta`khir” yang artinya menangguhkan atau menomorduakan, hal ini
berdasarkan pada firman Allah yang terdapat dalam surat al-A`raf ayat
111,”Qaaluu arjih wa akhaahu” yang artinya mereka menjawab”beri tangguhlah dia
dan saudaranya, dan juga berarti ”I`thaa`u al-rajaa”. Pengertian murji`ah yang
ke dua ini adalah disebabkan mereka
berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak merusak iman, sebagaimana halnya
ketaatan seseorang tidak berpengaruh dengan kekufurannya.[17]
Murji’ah lebih tepat dikatakan sebagai suatu
kecendrungan atau nazi’ah, yakni sebuah kecendrungan untuk mencari keselamatan
dengan tidak menenggelamkan diri ke dalam urusan politik, baik sebagai penyokong maupun sebagai
penentang. Semua permasalahan kecil yang menyebabkan timbulnya masalah besar
tampaknya dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan teori maupun yang
bersifat perbuatan dan tindakan.
Sebuah kesimpulan logis yang
dapat diberikan terhadap sikap kaum
murji’ah adalah bahwa mereka memandang yang menentukan mukmin atau kafirnya
seseorang bukanlah soal perbuatan atau amalnya, tetapi terkait pada masalah
kepercayaan atau iman, artinya amal adalah sesudah duduknya masalah keyakinan
dalam diri orang mukmin. Inilah yang menjadi salah satu dasar pemberian nama
terhadap kaum murji’ah yang terambil dari kata arjaa’ yang berarti mengambil
tempat di belakang. Dalam artian memandang masalah perbuatan seseorang menjadi
kurang penting dalam menentukan posisi amal atau kafirnya seseorang. Kata
arjaa’ juga berarti penyelesaian persoalan siapa yang salah dan siapa yang
benar nanti diserahkan kepada pengadilan Tuhan. Pengertian lain dari arjaa’
juga mengandung makna pemberian harapan bahwa orang Islam yang melakukan dosa
besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal didalam neraka,
disini jelas masih adanya penghargaan yang diberikan kepada pelaku dosa besar
dengan harapan mendapat rahmat dari Allah.[18]
- Sekte dan Ajarannya
Beberapa sekte dan ajaran Murji`ah yang terkenal
adalah:
1. Yunusiyah
Pemimpin mereka adalah Yunus
ibnu `Aun al Hamiri. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah,
tunduk dan cinta serta tidak
takabur kepada Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang berarti
telah layak dikatakan sebagai mukmin, sedangkan amal perbuatan yang berbentuk
ketaatan bukanlah unsur dari iman
artinya tidak akan berpengaruh pada iman apabila ditinggalkan.
Bahkan menurut mereka apabila di hati seseorang telah bersemi rasa
tunduk dan cinta kepada Allah, perbuatan maksiatpun tidak akan bisa merusaknya,
dan inilah yang akan memasukkan seseorang ke syurga.
2. Ubaidiyah
Mereka sependapat dengan sekte
Yunusiyah, bahwa dosa dan kejahatan tidak akan merusak iman . Semua dosa tidak mustahil akan diampuni
Allah selain dosa syirik. Mereka adalah pengikut dari `Ubaid al- Mukta`ib.
3. Ghassaniyah
Mereka adalah pengikut Ghassan
al- Kufi. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dan RasulNya ,
serta mengakui kebenaran
segala ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman bersifat tetap tidak bisa bertambah dan juga
tidak bisa berkurang. Selanjutnya Iman menurut mereka adalah pengakuan dan cinta
kepada Allah, mengagungkannya dan tidak takabur kepada Allah.[19]
- Saubaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu
Sauban al- Murji`i. Iman menurut mereka adalah mengakui Allah dan RasulNya ,
mengetahui apa yang diperintah dan apa yang dilarang secara rasional menurut
mereka bukanlah iman.
- Tumaniyah
Mereka adalah pengikut Abu
Mu`az al- Tumani. Menurut
mereka iman adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di
dalamnya terkandung berberapa unsur iman yang bisa menyebabkan seseorang
menjadi kufur bila ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq,
mahabbah, ikhlas serta mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. seperti orang
yang meninggalkan shalat atau puasa
karena menganggap halal dianggap kafir, akan tetapi kalau meninggalkannya
dengan niat mengqada maka tidaklah kafir. Orang yang membunah Nabi dipandang
kafir karena dipandang telah menghina dan memusuhi nabi, bukan karena perbuatan
pembunuhannya.[20]
6.
Shalihiyah
Pimpinan mereka adalah Shalih
ibnu Umar al- Shalihi. Menurut mereka iman adalah mengenal Allah, siapa yang
tidak mengenal Allah berarti kafir. Ibadah menurut mereka bukan dipandang amal,
tetapi adalah iman itu sendiri yakni mengenal Allah, iman juga tidak bertambah
dan tidak berkurang begitu juga kafir. Shalat , puasa dan ibadah lainnya
menurut mereka bukanlah ibadah tetapi
adalah ketaatan melaksanakan iman.[21]
E. Ajaran Pokok Murji`ah
Kaum Murji`ah yang
timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij dalam faham mereka sangat bertentangan
dengan faham Khawarij. Dimana menurut mereka orang Islam yang melakukan dosa
besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Masalah dosa besar yang
dilakukannya diserahkan kepada keputusan Allah kelak di Akhirat. Apabila dosa
besarnya diampuni Allah ia akan masuk syurga, kalau tidak ia akan masuk neraka
sesuai dengan dosa yang dilakukan, kemudian dimasukkan ke syurga. Adapun
argumen yang dipakai oleh kaum Murji`ah adalah bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar masi mengucapkan dua kalimat syahadat, orang ini masih tetap mukmin.[22]
Pada umumnya kaum Murji`ah berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah
dengan hati. Seseorang dikatakan mukmin jika dia telah beriman dengan hatinya,
walaupun lidahnya tidak mengucapkan dua kalimah syahadat atau secara lahirnya
berprilaku Yahudi atau Nasrani.[23]
Menurut mereka iman adalah tasdiq, amal seseorang lahir bukanlah karena tasdiq,
maka iman dengan amal tidak memiliki hubungan. Inilah golongan Murjiah yang
ekstrim dalam fahamnya.
Dengan demikian menurut Murji’ah ekstrim, orang Islam yang melakukan dosa besar
masih tetap mukmin, karena menurut Abu Hanifah, iman itu ialah sebuah
pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Nya dan tentang segala
yang datang dari Tuhan secara kaseluruhan. Iman menurutnya tidak bisa bertambah
dan tidak bisa pula berkurang serta tidak ada perbedaan antara manusia dalam
masalah iman. Pendapat ini mungkin muncul dikarenakan Abu Hanifah sebagai
seorang imam mahzab yang banyak berpegang pada logika. Karena menurutnya iman
semua orang adalah sama, walaupun dia orang baik atau orang jahat, sehingga
terjadi pro kontra di kalangan ulama dalam menilai pendapat Abu Hanifah ini
sehingga ada yang menggolongkan Abu Hanifah sebagai tokoh ekstrim Murji’ah.
Menurut mereka sembahyang
bukanlah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman
kepada Allah, dalam arti Shalikiah sembahyang, zakat, puasa dan haji hanya
menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadat kepada Allah. Karena yang
mereka sebut ibadah itu hanyalah iman kepada Allah.
Agaknya pendapat golongan Murji’ah
ini sangat ekstrim sekali karena menurut pendapat golongan ini antara perbuatan
dan amal tidaklah sepenting iman. Dan hanya imanlah yang menentukan mukmin atau
kafirnya seseorang. Sedangkan perbuatan tidak mempunyai pengaruh apapun
terhadap iman. Iman itu letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati
seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain. Makanya ucapan dan perbuatan
seseorang tidaklah mesti mengandung arti bahwa dia tidak mempunyai iman, yang
penting adalah iman di dalam hati.
Golongan Murjiah kedua adalah
golongan yang moderat, mereka berpendapat bahwa seseorang mukmin selama dia mengakui
tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya, dia adalah mukmin.
Walaupun dia melakukan dosa besar, namun dosa besar yang dilakukannya tidaklah
membuat dia keluar dari Islam. Artinya di a tetap menjadi orang Islam dan tetap akan masuk surga. Karena
menurut mereka iman bukan hanya membenarkan dengan hati, tetapi juga harus
diikrarkan dengan lisan.[24]
Begitu juga pendapat ini
dikuatkan oleh tokoh Murji’ah yang bernama Al-Bazdawi bahwa iman adalah
kepercayaan dalam hati, yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan kepada Tuhan
merupakan akibat dari keimanan. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan
bukanlah orang kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa besar tidak akan dalam
neraka sekalipun dia tidak sempat bertaubat, artinya nasib seseorang diakhirat
tergantung kepada kehendak Allah. Dengan demikian iman adalah kunci untuk masuk
syurga, sedang amal hanya berfungsi untuk membedakan tingkatan seseorang dalam
syurga.
III. P E N U T U P
Dari uraian diatas dapat
penulis simpulkan bahwa golongan Khawarij dan golongan Murji’ah adalah dua
golongan yang muncul disebabkan pengaruh politik pemerintah yang akhirnya
terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Persoalan yang mereka
permasalahkan tidak hanya sebatas persoalan politik, tetapi sudah merambah
persoalan teologi yang menambahkan
berbagai faham yang ekstrim dan moderat. Hal ini adalah disebabkan mereka hidup
pada suasana yang begitu keras dan daerah yang tandus, sehingga berpengaruh
pada pola pikir dan cara hidup mereka selama ini.
Namun kedua golongan ini
berbeda satu sama lain. Gologan Khawarij sangat keras dalam faham mereka
terutama dalam hal mengkafirkan
seseorang yang tidak bertahkim kepada Alqur`an , sedangkan golongan
Murji`ah lebih menyerahkan pada kehendak Allah, yang terdiri dari dua golongan
besar yakni golongan Murji`ah ekstrim dan Murji`ah moderat. Apabila
dibandingkan dengan aliran yang berkembang dalam Islam, golongan Khawarij dan
Murji’ah adalah golongan pertama yang berhasil menumbuhkan benih-benih teologi
yang semakin disempurnakan oleh golongan yang muncul sesudah mereka. Sehingga melahirkan berbagai aliran dalam
Islam ada yang Jubariyah dan ada yang Qadriyah dalam menilai ketentuan Allah
dalam kehidupan manusia.
Demikianlah makalah ini
penulis buat, dalam rangka menambah pegetahuan dalam menganalisa perkembangan
pemikiran dalam Islam. Dalam penulisan makalah ini penulis merasakan jauh dari
kesempurnaan, saran dan masukan dari pembaca sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis mengaturkan terima kasih.
[1]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-
Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 11
[18] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam,
Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995, hal. 64
[22] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1979,
hal.34
[23] Sirajuddin Zar, Op.cit.,
hal.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar