Kamis, 09 Mei 2013

KHAWARIJ DAN MURJI’AH



I.                   PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya beberapa golongan dan aliran dalam Islam pada dasarnya berawal dari menyikapi permasalahan politik yang terjadi diantara umat Islam, yang akhirnya merebak pada persoalan Teologi dalam Islam. Tegasnya adalah persoalan ini bermula dari permasalahan Khilafah, yakni tentang siapa orang yang berhak menjadi Khalifah dan bagaimana mekanisme yang akan digunakan dalam pemilihan seorang Khalifah. Di satu sisi umat Islam masih ingin mempertahankan cara lama bahwa yang berhak menjadai Khalifah itu adalah secara turun temurun dari suku bangsa Quraisy saja. Sementara di sisi lain umat Islam menginginkan Khalifah dipilih secara demokrasi, sehingga setiap umat Islam yang memiliki kapasitas untuk menjadi Khalifah bisa ikut dalam pemilihan.
Rumitnya persoalan ini dipicu oleh ego kesukuan dan kelompok yang saling mementingkan kelompok masing-masing, hingga akhirnya memuncak pada masa kekhalifahan Usman Bin Affan, yakni pada tahun ke 7 kekhalifahan Usman sampai masa Ali Bin Abi Thalib yang mereka anggap sudah menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga terjadilah saling bermusuhan bahkan pembunuhan sesama umat Islam. Masalah pembunuhan adalah dosa besar dalam Islam, dalam menyikapi masalah inilah persoalan politik merebak ke ranah teologi dalam Islam. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat dan faham, yang akhirnya muncul dalam bentuk kelompok dan golongan yang menyebabkan umat Islam terdiri dari beberapa golongan dan aliran.
Dalam makalah ini Penulis membahas tentang Sekte dan Ajaran Pokok golongan Khawarij dan Murjiah  yang muncul karena terjadinya permasalan politik kenegaraan dalam Islam, serta perbedaan pendapat dikalangan umat Islam yang mempengaruhi munculnya teologi dalam Islam.
II.       PEMBAHASAN
A.  Kaum Khawarij
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kaum Khawarij  berasal  pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan keluar dari barisannya disebabkan oleh  ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menyetujui tawaran damai dengan Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dalam perang siffin yang dikenal dengan arbitrase atau tahkim. Mereka merasa arbitrase hanya menguntungkan bagi pihak Mu’awiyah yang menyatakan Mu’awiyah lah yang harus diakui sebagai Khalifah.
Nama Khawarij berasal dari kata ”Kharaja” yang artinya” keluar”. Nama itu diberikan kepada mereka dikarenakan mereka keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib. Menurut Ahmad Amin, nama Khawarij mereka sendiri yang menamakannya berdasarkan surat Annisa’ ayat 100, yang didalamnya disebutkan ” Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya. Berdasarkan pendapat ini kaum Khawarij memandang kelompok mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasulnya.[1]
 Mereka juga menamakan diri mereka dengan ”al- Syur`at”, yang berasal dari kata ”Yasri” artinya ” menjual” yang terambil dari surat al- Baqarah ayat 207. Dan mereka juga mempunyai nama lain yaitu  al- Harurat, disebabkan setelah meninggalkan Ali mereka berkumpul di sebuah desa dekat kota Kuffah yang bernama Harura. Di sinilah mereka mengangkat Abdullah Bin Wahab Arrasibi sebagai imam mereka sebagai ganti dari Ali Bin Abi Thalib.[2]
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kata Khawarij yang artinya keluar , karena meraka menyatakan keluar dari barisan Ali disebabkan tidak setuju dengan arbitrase atau tahkim. Dan disandarkan kepada penyebab mereka menyebut golongan mereka dengan nama khawarij, karena mereka menganggap golongan mereka sebagai orang-orang yang bersikukuh dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka harus meninggalkan barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi  Thalib. Hal ini disebabkan oleh karena mereka tidak sependapat dengan Ali untuk menghentikan peperangan yang sudah diambang kemenangan dan memilih arbitrase. Dan ternyata Mu’awiyah yang sudah berpengalaman memanfaatkan arbitrase dengan kelicikannya untuk menobatkan diri sebagai orang yang  berhak menjadi Khalifah.
 Konon pada awalnya Ali meragukan untuk menerima tawaran arbitrase atau tahkim yang ditawarkan oleh Mu’awiyah dan pengikutnya, karena Ali tahu persis dengan kelicikan dari Mu’awiyah sekalipun Mu’awiyah dan Amru Bin Ash mengangkat Mushaf sebagai dasar bertahkim kepada Al-Quran, untuk mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya. Akan tetapi dengan pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin Abi Thalib yang setuju dengan tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib menerima dengan lapang dada demi menjaga keutuhan kelompoknya.
Namun sebagian lagi dari pengikut Ali Bin Abi Thalib tidak setuju dengan arbitrase, karena kemenangan sudah hampir mereka peroleh dalam perang siffin, dan menurut mereka arbitrase hanya menguntungkan bagi Mu’awiyah dan Amru Bin Ash yang licik dengan taktiknya. Sehingga mereka yang tidak setuju dengan  menyatakan mundur dan keluar dari barisan Ali. Mereka pergi menuju Harura, sebuah desa di dekat kota Kuffah di Irak. Dan mereka mengangkat Abdullah Bin Wahb Al Rasyidi menjadi Imam mereka. Inilah kelompok yang dikenal dengan sebutan Khawarij yang pertama yang beranggotakan sekitar 12 ribu orang.[3]

Kelompok Khawarij disebut pula dengan Haruriyah, karena dinisbatkan kepada Harura nama desa yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan Al-Muhkamah, karena mereka yang mengatakan ”Bahwa tidak ada ketetapan Hukum kecuali milik Allah”. Mereka juga menamakan kelompok mereka sendiri dengan sebutan Asy-Syurat yang artinya orang yang menjual atau mengorbankan diri kepada Allah berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 207.[4]
Dengan demikian nyatalah Khawarij sebagai suatu golongan yang memisahkan diri dari pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, disebabkan oleh watak yang keras dan pemikiran yang ekstrim dari mereka, sehingga Khawarij dianggap sebagai kelompok pemberontak dimasa Kekhalifahan Ali. Dalam berbagai pertempuran besar Khawarij dapat dikalahkan oleh pasukan Ali. Namun akhirnya seorang Khawarij yang bernama Abd Al-Rahman Bin Muljam berhasil membunuh Ali Bin Abi Thalib.
Walaupun Khawarij telah mengalami kekalahan, mereka tetap bisa menyusun kekuatan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan  Islam resmi baik di zaman Dinasty  Umaiyyah maupun di zaman Dinasty  Abbasiyyah. Kemudian dalam perang saudara pada masa Ibn Az-Zubir, dua gerakan kaum Khawarij yang memliki peran yang sangat besar dalam merangsang pengembangan teologi sehingga berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi kelompok yang  cukup besar. Kelompok Khawarij pertama adalah sub sekte Azraqiah sesuai dengan nama pimpinan mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq dan kepemimpinan Az-Zubair. Namun pada tahun 684 M, kota Basra jatuh ke tangan Ibn Az-Zubair, sehingga orang-orang sekte Azrqiah yang tersisa melarikan diri ke pegunungan di sebelah timur Basra. Akhirnya tentara Bani Umaiyyah yang berkuda pada waktu itu berhasil memusnahkan kekuatan mereka.[5]
  Sebagai golongan yang ekstrim Khawarij memang menanggapi setiap permasalahan yang muncul pada waktu itu secara keras dan sempit, siapapun pemimpin Islam, apabila tidak memerintah sesuai dangan Al-Quran dan Sunnah yang mereka fahami secara lafziyah, mereka anggap telah menyeleweng dari ajaran Islam, dan mereka mesti ditentang dan dijatuhkan, bahkan darah mereka menjadi halal atau harus dibunuh. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang berfaham sedikit moderat seperti Sekte Ibadiyah, yang akan penulis paparkan berikut ini.

B. Sekte dan Ajarannya
1. Al-Muhakkimah
Sekte Al-Muhakkimah adalah golongan Khawarij yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan dirinya telah keluar dari barisan Ali dalam perang siffin. Mereka disebut dengan golongan Khawarij Asli. Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dan kedua pengantara Amru Bin Ash dan Abu Musa Al-Assyari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Kemudian hukum kafir ini mereka perluas pengertiannya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang melakukan dosa besar.[6]
Menurut mereka berbuat zina adalah dosa besar, maka bagi pelaku zina telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Dan begitu juga dengan orang yang membunuh sesama manusia tanpa alasan yang sah, menurut mereka juga dosa besar. Dengan demikian pelaku pembunuhan telah keluar dari Islam dan menjadi kafir.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa galongan Khawarij telah menganggap orang-orang yang menerima  Tahkim atau arbitrase adalah kafir atau murtad. Orang-orang seperti ini menurut mereka wajib dibunuh karena tidak menentukan hukum sesuai dengan Al-Quran. Selain itu mereka juga membicarakan masalah siapa yang tetap Mu’min yang menjadi ajaran pokok dan teologi Khawarij seperti pelaku dosa besar.
2. Al-Azariqah
Golongan ini adalah kelompok yang besar dan terkuat setelah hancurnya golongan Al-Muhakkimah. Daerah kekuasaan Al-Azariqah adalah pada perbatasan Irak dengan Iran. Nama Al-Azariqah terambil dari nama pemimpin mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq yang meninggal pada tahun 686 M di Irak. Sub Sekte ini memiliki pandangan yang lebih radikal dibanding sekte Al-Muhakkimah, karena mereka tidak lagi memakai istilah kafir bagi pelaku tahkim dan dosa besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme yang dosanya lebih besar dari trem kafir.[7]
Menurut Al-Azariqah, semua orang yang tidak sefaham dengan mereka adalah musyrik, walaupun orang yang sefaham dengan Al-Zariqah tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Menurut mereka, daerah Islam itu hanyalah daerah kekuasaan mereka saja, sedangkan orang yang tinggal diluar daerah kekuasaan Al-Zariqah adalah musyrik, mereka boleh ditawan dan dibunuh. Bahkan istri dan anak-anak dari orang yang dipandang musyrik boleh dibunuh.[8]
Dengan demikian agaknya  sekte Al-Zariqah nyata-nyata menganggap hanya golongan merekalah yang sebenarnya orang Islam, adapun orang-orang yang diluar lingkungan mereka adalah kaum musyrik dan daerahnya adalah Darul Al Kufr, maka harus diperangi. Maka Ibn Al-Hazm mengatakan, orang-orang sekte Al-Zariqah selalu melakukan Isti’rad, yakni selalu mempertanyakan pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa yang mereka jumpai mengaku oarang Islam, yang tidak termasuk golongan Al-Zariqah langsung mereka bunuh.
 Sekte Al-Zariqah merangsang pemikiran teologis karena secara logika mereka merumuskan kedudukan Khawarij pada kesimpulan yang ekstrim, prinsip dasarnya yang telah dirumuskan dalam bahasa Al-Quran bahwa tidak ada keputusan selain keputusan Allah ( La Hukma Illa Lillah ) yang berarti keputusan adalah hak Allah semata, dengan demikian menurut mereka keputusan harus diambil sesuai dengan harfiahnya Al-Quran.[9]
Sekte ini juga berpendapat bahwa penguasa yang telah berbuat dosa dan menyatakan bahwa siapa yang tidak ikut mereka dalam memerangi penguasa yang ada juga adalah pendosa. Sedangkan anggota kelompok Al-Zariqah adalah kelompok muslim sejati.
3. Al-Najdad.
Sekte Khawarij ini muncul disebabkan terjadinya perbedaan pendapat dengan kubu Al-Zariqah, tentang faham bahwa orang yang tidak bergabung dengan Al-Zariqah adalah orang musyrik. Maka untuk itu mereka mengangakat pimpinan sendiri yang bernama Najdah Bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah. Begitu juga dengan pendapat Al-Zariqah tentang boleh dan halalnya anak dan istri orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka untuk dibunuh.[10]
Najdah memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan dua sekte Khawarij sebelumnya yakni bahwa orang yang melakukan dosa besar, yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Sedangkan pengikut-pengikut Najdah yang melakukan dosa besar, memang betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan didalam neraka dan kemudian akan masuk ke syurga. Kemudian dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus akan menjadi dosa besar dan orang yang mengerjakannya menjadi musyrik.
Sekte Najdah atau Najdiyah kebanyakan mereka terdiri dari kaum Khawarij yang berasal dari Arabia Tengah yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka mulai dari tahun 686 – 692 M adalah Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan sekte Najdah mencakup bentangan luas Arabia bahkan Oman di pantai timur Yaman serta Hadramaut di selatan dan barat daya. Pertikaian yang sering terjadi dalam masalah kepemimpinan menjadikan sekte Najdah terpecah kepada beberapa sub sekte, dan  kemudian Yamamah ditindak oleh tentara Umayyah.[11]
Nampaknya sebagian besar pandangan kaum Najdah berdasarkan pada pandangan hukum seperti yang biasa muncul dalam pemerintahan suatu negara yang memiliki wilayah yang luas, seperti persoalan-persoalan perlakuan pimpinan terhadap tawanan perang wanita, hukuman pengadilan kasus-kasus pencurian serta perampokan. Dari pandangan kaum Najdiyah mengenai masalah seperti itu, tergambar bahwa adanya upaya awal untuk mempertimbangkan kembali konsep-konsep Khawarij, tentang masyarakat Islam sejati dan tujuan memberikan keringanan karena ketidak sempurnaan manuasia dalam menghindarkan diri dari larangan Agama. Pandangan kaum Khawarij yang keras yang dijadikan dasar oleh kaum Najdiyah adalah bahwa seseorang yang terlibat dalam dosa besar   penghuni neraka. Kalau bagi kaum Al-Zariqah pelaku dosa besar dengan mudah dapat dikeluarkan dari daerah kekuasaannya, tetapi bagi kaum Najdiyah yang memiliki daerah yang luas tidak mudah untuk mengeluarkan seseorang dari wilayahnya, jadi menurut mereka hal itu tidak diperlukan, ini adalah atas dasar  pertimbangan bahwa manusia normal manapun juga cendrung untuk mengakui adanya keburukan dan kebaikan.
Menurut kaum Najdiyah dosa kecil yang dilakukan seseorang akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya akan menjadi musyrik. Kemudian yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tidak mengetahui tiga macam ini tidak dapat diampuni. Yang dimaksud orang Islam disini adalah orang kaum Najdiyah. Dalam masalah selain diatas, orang Islam tidak diwajibkan untuk mengetahuinya, kalau ia melakukan sesuatu yang haram dengan alasan ia tidak tahu bahwa itu adalah haram, ia dapat dimaafkan.[12]
Selain itu lapangan politik Najdah berpendapat bahwa Imam itu perlu jika maslahat menghendakinya. Menurut mereka seseorang boleh saja tidak berhajat pada adanya imam atau pemimpin. Di kalangan Khawarij, golongan ini kelihatannya yang berkeyakinan bahwa mereka boleh saja merahasiakan keyakinan demi untuk keamanan diri seseorang yang disebut dengan Taqiah. Taqiah bukan hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Dengan demikian seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan yang mungkin menunjukkan dia secara lahiriyah nya bukan orang Islam, tetapi pada hakikatnya ia tetap menganut agama Islam.
Walaupun demikian tetapi tidak semuanya golongan Najdiyah setuju dengan pendapat tersebut, terutama bahwa dosa besar tidak membuat pelakunya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Akhirnya perpecahan dikalangan mereka terjadi dalam masalah pembagian harta rampasan perang atau qarimah, dan sikap lunak yang diambil oleh Najdah terhadap khalifah Abd Al-Malik Ibn Marwan dari Dinasty Bani Umayyah. Dalam perpecahan ini Abd Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Afiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah ke Sajistan Iran dan akhirnya Najdah dapat mereka bunuh.[13]
4. Al-Jaridah
Golongan ini adalah pengikut Abd. Karim Bin Ajrad yang sekelompok dengan ’Atiah bin Al-Aswad. Dimana pada awalnya mereka adalah golongan Al-Najdah, sehingga pemikiran Al-Jaridah serupa dengan pemikiran Al-Najdah. Diantara pemikiran Al-Jaridah yang spesifik adalah tentang masalah anak kecil harus bebas dari seruan kepada Islam, kecuali setelah ia baligh. Dan bagi orang musyrik tetap berada didalam neraka  bersama orang tuanya. Diantara prinsip mereka adalah Hijrah hanya merupakan keutamaan bukan kewajiban. Orang-orang yang melakukan dosa besar tetap kafir dan tidak boleh mengambil harta rampasan perang, tidak boleh membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang.
Kalau Al-Jaridah masih bersikap lunak terhadap kewajiban berhijrah karena hijrah itu hanya merupakan suatu kewajiban saja. Dan pengikut Al-Jaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka, artinya mereka tidak dianggap kafir. Selanjutnya kaum Al-Jaridah ini mempunyai faham puritanisme. Menurut mereka Al-Quran sebagai kitab suci tidak mungkin mengandung cerita cinta sebagaimana yang diyakini golongan lain, sehingga mereka tidak meyakini surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur`an.
5. Al-Sufriah
Pimpinan golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar. Dimana golongan ini terkenal dengan gerakan evolusi praktis dalam pemikiran Khawarij. Sebagaimana yang dikatakan oleh  Mahmud Abdurrazaq dalam bukunya ”Al-Khawarij fi biladil Magrib” bahwa keyakinan golongan Sufriyah atau Syafariyah bahwa mereka tidak berlebihan dalam bersikap yang hanya justru menyebabkan perpecahan dikalangan Khawarij seperti yang terjadi sebelumnya. Mereka tetap melakukan hukum rajam bagi pezina, tidak membunuh anak-anak orang musyrik serta tidak mengkafirkan seperti pendapat golongan Azariqah. Mereka juga membolehkan Taqiah, tetapi hanya dalam perkataan, bukan perbuatan.[14]
6. Al- Ibadiyah
Golongan Al-Ibadah adalah pengikut Abdullah Bin Ibadh At-Tamimy. Ia hidup pada pertengahan kedua abad I Hijriyah. Mereka lebih dekat kepada golongan Islam dari pada golongan Khawarij. Pendapat-pendapat mereka lebih solider dari pada kelompok Khawarij yang lain. Pada tahun 686 M, mereka memisahkan diri dari golongan Al-Zariqah. Faham moderat mereka dapat dilihat di ajaran-ajarannya sebagai berikut :
  1. Orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi kafir. Maka orang Islam yand demikian boleh melakukan perkawinan dengan orang Islam lain, dan hubungan warisan, shahadat mereka dapat diterima dan membunuh mereka adalah haram. 
  2. Daerah Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah kafir 
  3.   ”Dar Tawhid” yakni daerah yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp pemerintah. Mereka boleh diperangi karena menurut mereka camp pemerintah adalah daerah orang kafir.  
  4.  Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah muwahid, orang yang meng Esakan Tuhan tetapi bukan mukmin, dan kalaupun mereka kafir tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir rullah. 
  5. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta seperti  emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya kecuali bila dia sudah mati.[15]
Kemudian pendapat golongan Ibadiah yang terpenting adalah bahwa semua yang di wajibkan Allah terhadap makhluknya merupakan gambaran dari iman. Iman harus mencakup sisi awal yang merupakan bagian dari iman. Namun mereka tidak memberikan kejelasan tentang masalah kedudukan anak orang musyrik. Menurutnya mereka boleh saja disiksa atau boleh juga masuk syurga.

C. Ajaran Pokok Khawarij
         Diantara ajaran pokok Khawarij berkisar tentang masalah kekhalifahan atau politik ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal perbuatan umat Islam antara lain:
  1. Khalifah tidak mesti berasal dari suku Quraisy, siapa saja yang mapunyai kapasitas untuk menjadi khalifah  dan bisa berlaku adil dapat dipilih, apabila tidak mampu wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak bersifat turun temurun. Pendapat ini akhirnya dianut oleh Ahli Sunnah.
  2. Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir. Dosa besar yang dimaksud kaum Khawarij adalah orang yang bertahkim tidak dengan Al-qur`an, berzina dan memakan harta anak yatim tidak sefaham dengan mereka dinyatakan kafir.
  3. Untuk menentukan kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada amal perbuatannya. Sungguhpun seseorang telah bersahadat, tetapi melanggar ketentuan agama maka dihukum kafir.[16]

D. Kaum Murji`ah
Munculnya kaum murji’ah ditengah suasana pertentangan yang terjadi dikalangan umat Islam pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan munculnya kaum Khawarij. Kaum murji’ah muncul juga disebabkan oleh  persoalan politik dalam masalah khilafah. Dapat dikatakan agaknya kaum murji’ah adalah orang-orang yang tehimpun dalam sebuah golongan yang tampil beda dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi pada masa mereka . Namun kaum murji’ah tidaklah terpengaruh dengan praktek kafir-mengkafirkan sesama umat Islam. Mereka lebih netral dibanding Khawarij yang begitu fanatik dan ekstrim dalam ajarannya.
Kata  Murji`ah berasal dari kata ”al- Irja`” yang berarti ”al- Ta`khir” yang artinya menangguhkan atau menomorduakan, hal ini berdasarkan pada firman Allah yang terdapat dalam surat al-A`raf ayat 111,”Qaaluu arjih wa akhaahu” yang artinya mereka menjawab”beri tangguhlah dia dan saudaranya, dan juga berarti ”I`thaa`u al-rajaa”. Pengertian murji`ah yang ke dua ini  adalah disebabkan mereka berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak merusak iman, sebagaimana halnya ketaatan seseorang tidak berpengaruh dengan kekufurannya.[17]
 Murji’ah lebih tepat dikatakan sebagai suatu kecendrungan atau nazi’ah, yakni sebuah kecendrungan untuk mencari keselamatan dengan tidak menenggelamkan diri ke dalam urusan politik,  baik sebagai penyokong maupun sebagai penentang. Semua permasalahan kecil yang menyebabkan timbulnya masalah besar tampaknya dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan teori maupun yang bersifat perbuatan dan tindakan.
Sebuah kesimpulan logis yang dapat diberikan  terhadap sikap kaum murji’ah adalah bahwa mereka memandang yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang bukanlah soal perbuatan atau amalnya, tetapi terkait pada masalah kepercayaan atau iman, artinya amal adalah sesudah duduknya masalah keyakinan dalam diri orang mukmin. Inilah yang menjadi salah satu dasar pemberian nama terhadap kaum murji’ah yang terambil dari kata arjaa’ yang berarti mengambil tempat di belakang. Dalam artian memandang masalah perbuatan seseorang menjadi kurang penting dalam menentukan posisi amal atau kafirnya seseorang. Kata arjaa’ juga berarti penyelesaian persoalan siapa yang salah dan siapa yang benar nanti diserahkan kepada pengadilan Tuhan. Pengertian lain dari arjaa’ juga mengandung makna pemberian harapan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal didalam neraka, disini jelas masih adanya penghargaan yang diberikan kepada pelaku dosa besar dengan harapan mendapat rahmat dari Allah.[18]

  1. Sekte dan Ajarannya
Beberapa sekte dan ajaran Murji`ah yang terkenal adalah:
1.   Yunusiyah
Pemimpin mereka adalah Yunus ibnu `Aun al Hamiri. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah, tunduk dan cinta serta tidak takabur kepada Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang berarti telah layak dikatakan sebagai mukmin, sedangkan amal perbuatan yang berbentuk ketaatan  bukanlah unsur dari iman artinya tidak akan berpengaruh pada iman apabila ditinggalkan.
Bahkan menurut mereka  apabila di hati seseorang telah bersemi rasa tunduk dan cinta kepada Allah, perbuatan maksiatpun tidak akan bisa merusaknya, dan inilah yang akan memasukkan seseorang ke syurga.
2.   Ubaidiyah  
Mereka sependapat dengan sekte Yunusiyah, bahwa dosa dan kejahatan tidak akan merusak iman . Semua dosa tidak mustahil akan diampuni Allah selain dosa syirik. Mereka adalah pengikut dari `Ubaid al- Mukta`ib.
3.  Ghassaniyah
Mereka adalah pengikut Ghassan al- Kufi. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dan RasulNya , serta mengakui kebenaran segala ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman  bersifat tetap tidak bisa bertambah dan juga tidak bisa berkurang. Selanjutnya Iman menurut mereka adalah pengakuan dan cinta kepada Allah, mengagungkannya dan tidak takabur kepada Allah.[19]
  1. Saubaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu Sauban al- Murji`i. Iman menurut mereka adalah mengakui Allah dan RasulNya , mengetahui apa yang diperintah dan apa yang dilarang secara rasional menurut mereka bukanlah iman.
  1. Tumaniyah
Mereka adalah pengikut Abu Mu`az al- Tumani. Menurut mereka iman adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di dalamnya terkandung berberapa unsur iman yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kufur bila ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq, mahabbah, ikhlas serta mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. seperti orang yang meninggalkan shalat  atau puasa karena menganggap halal dianggap kafir, akan tetapi kalau meninggalkannya dengan niat mengqada maka tidaklah kafir. Orang yang membunah Nabi dipandang kafir karena dipandang telah menghina dan memusuhi nabi, bukan karena perbuatan pembunuhannya.[20]
       6. Shalihiyah
Pimpinan mereka adalah Shalih ibnu Umar al- Shalihi. Menurut mereka iman adalah mengenal Allah, siapa yang tidak mengenal Allah berarti kafir. Ibadah menurut mereka bukan dipandang amal, tetapi adalah iman itu sendiri yakni mengenal Allah, iman juga tidak bertambah dan tidak berkurang begitu juga kafir. Shalat , puasa dan ibadah lainnya menurut mereka  bukanlah ibadah tetapi adalah ketaatan melaksanakan iman.[21]


E. Ajaran Pokok Murji`ah
          Kaum Murji`ah yang timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij dalam faham mereka sangat bertentangan dengan faham Khawarij. Dimana menurut mereka orang Islam yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya diserahkan kepada keputusan Allah kelak di Akhirat. Apabila dosa besarnya diampuni Allah ia akan masuk syurga, kalau tidak ia akan masuk neraka sesuai dengan dosa yang dilakukan, kemudian dimasukkan ke syurga. Adapun argumen yang dipakai oleh kaum Murji`ah adalah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masi mengucapkan dua kalimat syahadat, orang ini masih tetap mukmin.[22]
           Pada umumnya kaum Murji`ah berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dengan hati. Seseorang dikatakan mukmin jika dia telah beriman dengan hatinya, walaupun lidahnya tidak mengucapkan dua kalimah syahadat atau secara lahirnya berprilaku Yahudi atau Nasrani.[23] Menurut mereka iman adalah tasdiq, amal seseorang lahir bukanlah karena tasdiq, maka iman dengan amal tidak memiliki hubungan. Inilah golongan Murjiah yang ekstrim dalam fahamnya.
            Dengan demikian menurut Murji’ah  ekstrim, orang Islam yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin, karena menurut Abu Hanifah, iman itu ialah sebuah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan secara kaseluruhan. Iman menurutnya tidak bisa bertambah dan tidak bisa pula berkurang serta tidak ada perbedaan antara manusia dalam masalah iman. Pendapat ini mungkin muncul dikarenakan Abu Hanifah sebagai seorang imam mahzab yang banyak berpegang pada logika. Karena menurutnya iman semua orang adalah sama, walaupun dia orang baik atau orang jahat, sehingga terjadi pro kontra di kalangan ulama dalam menilai pendapat Abu Hanifah ini sehingga ada yang menggolongkan Abu Hanifah sebagai tokoh ekstrim Murji’ah.
Menurut mereka sembahyang bukanlah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepada Allah, dalam arti Shalikiah sembahyang, zakat, puasa dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadat kepada Allah. Karena yang mereka sebut ibadah itu hanyalah iman kepada Allah.
Agaknya pendapat golongan Murji’ah ini sangat ekstrim sekali karena menurut pendapat golongan ini antara perbuatan dan amal tidaklah sepenting iman. Dan hanya imanlah yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Sedangkan perbuatan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap iman. Iman itu letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain. Makanya ucapan dan perbuatan seseorang tidaklah mesti mengandung arti bahwa dia tidak mempunyai iman, yang penting adalah iman di dalam hati.
Golongan Murjiah kedua adalah golongan yang moderat, mereka berpendapat bahwa seseorang mukmin selama dia mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya, dia adalah mukmin. Walaupun dia melakukan dosa besar, namun dosa besar yang dilakukannya tidaklah membuat dia keluar dari Islam. Artinya di a tetap menjadi orang Islam dan tetap akan masuk surga. Karena menurut mereka iman bukan hanya membenarkan dengan hati, tetapi juga harus diikrarkan dengan lisan.[24]
Begitu juga pendapat ini dikuatkan oleh tokoh Murji’ah yang bernama Al-Bazdawi bahwa iman adalah kepercayaan dalam hati, yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan kepada Tuhan merupakan akibat dari keimanan. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah orang kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa besar tidak akan dalam neraka sekalipun dia tidak sempat bertaubat, artinya nasib seseorang diakhirat tergantung kepada kehendak Allah. Dengan demikian iman adalah kunci untuk masuk syurga, sedang amal hanya berfungsi untuk membedakan tingkatan seseorang dalam syurga.
III.  P E N U T U P
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa golongan Khawarij dan golongan Murji’ah adalah dua golongan yang muncul disebabkan pengaruh politik pemerintah yang akhirnya terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Persoalan yang mereka permasalahkan tidak hanya sebatas persoalan politik, tetapi sudah merambah persoalan teologi yang  menambahkan berbagai faham yang ekstrim dan moderat. Hal ini adalah disebabkan mereka hidup pada suasana yang begitu keras dan daerah yang tandus, sehingga berpengaruh pada pola pikir dan cara hidup mereka selama ini.
Namun kedua golongan ini berbeda satu sama lain. Gologan Khawarij sangat keras dalam faham mereka terutama dalam hal mengkafirkan  seseorang yang tidak bertahkim kepada Alqur`an , sedangkan golongan Murji`ah lebih menyerahkan pada kehendak Allah, yang terdiri dari dua golongan besar yakni golongan Murji`ah ekstrim dan Murji`ah moderat. Apabila dibandingkan dengan aliran yang berkembang dalam Islam, golongan Khawarij dan Murji’ah adalah golongan pertama yang berhasil menumbuhkan benih-benih teologi yang semakin disempurnakan oleh golongan yang muncul sesudah mereka. Sehingga melahirkan berbagai aliran dalam Islam ada yang Jubariyah dan ada yang Qadriyah dalam menilai ketentuan Allah dalam kehidupan manusia.
Demikianlah makalah ini penulis buat, dalam rangka menambah pegetahuan dalam menganalisa perkembangan pemikiran dalam Islam. Dalam penulisan makalah ini penulis merasakan jauh dari kesempurnaan, saran dan masukan dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis mengaturkan terima kasih.


          [1]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran- Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 11

          [2]Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang: IAIN IB Press, 2003, hal. 23-24
          [3] Amir An- Najjar, Al Khawarij, Aqidatan, Fikratan wal Falsafatan, Terj.Khathur Suhardi, Solo: CV.Pustaka Mantiq, 1992, hal. 66
          [4] Ibid. ,hal.67
          [5] W. Montgomery Watt, Islamic Theologi and Fhilosopy, Terj. Umar Basalim, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesanteren dan Masyarakat (P3M), 1987, hal. 18-19
          [6]Harun Nasution Teologi Islam, Op.cit., hal. 13-14
          [7] Tasman Ya`kub, Perkembangan Pemikiran Islam, Padang: IAIN IB Press, 2004, hal. 21-22
          [8] Ibid. , hal.15
          [9]W. Montgomery Wat, Op.cit., hal. 20
          [10] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.cit. ,hal 16
          [11] W. Montgomery Watt, Op.cit., hal.21
          [12] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.cit., hal.17
          [13] Ibid., hal. 18
          [14] Amir An- Najjar, Op.cit., hal. 86
           [15] Harun Nasution, Op.cit., hal 20
           [16] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid.I, Jakarta: UI Press, 1979, hal. 96
          [17] Sirajuddin Zar, Op.cit., hal. 38
[18] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995, hal. 64
          [19] Sirajuddin Zar, Op.cit., hal. 44
          [20] Ibid.
          [21] Ibid., hal.45
[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1979, hal.34
[23] Sirajuddin Zar, Op.cit., hal.40
          [24] Ibid.,hal.41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar